Damai untuk Perempuan Aceh Oleh: Yundriana Berbicara masalah perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam, san...
Damai untuk Perempuan Aceh
Oleh: Yundriana
Berbicara masalah perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam,
sangat erat kaitannya dengan kaum wanita. Sebuah potret buram Aceh pada masa
silam, menggambarkan kehidupan masyarakatnya dalam lembar kelam kelabu. Konflik
berkepanjangan yang terjadi belasan
tahun yang lalu telah menciptakan penderitaan yang sangat mendalam bagi
masyarakat setempat, terutama bagi kaum wanita.
Konflik yang
berawal karena ketidak puasan atas pelaksanaan perjanjian antara pemerintah pusat
dengan pemerintah Aceh merupakan imbas dari “pengingkaran” Presiden Republik
Indonesia terhadap tuntutan masyarakat Aceh saat itu. Ketidak puasan tersebut
menggerakan jiwa masyarakat Aceh untuk meminta pertanggungjawaban pemerintahan
pusat, dengan melakukan perlawanan angkat senjata yang dikenal dengan Gerakan
Aceh Merdeka (GAM). GAM merekrut banyak anggota untuk
menjalankan misinya, baik yang belum menikah maupun yang sudah menikah. Mereka terpaksa meninggalkan sanak
keluarga untuk berjuang mengembalikan
marwah Aceh yang telah diinjak-injak
oleh pemerintah pusat.
Salah satu
penderitaan yang dialami oleh masyarakat Aceh ketika konflik adalah dengan
adanya Daerah Operasi Militer (DOM) yang diterapkan oleh pemerintah Pusat di
Aceh. Pemberlakuan DOM merupakan
masa kekelaman Aceh yang telah menciptakan penderitaan dan trauma yang mendalam
bagi masyarakat Aceh. Pada masa DOM, begitu banyak organ militer dari luar
Provinsi Aceh didatangkan. Penempatan personil–personil militer tambahan oleh
pemerintah pusat sebagai follow up pemberlakuan DOM dilakukan demi melumpuhkan
perjuangan GAM.
Satu per satu
wilayah basis GAM “direbut” kembali oleh tentara militer Indonesia, sehingga
menyebabkan Korban dari pihak GAM semakin banyak berjatuhan. Akan tetapi, kondisi
ini belum mampu mematikan semangat tentara GAM dalam melakukan perlawanan terhadap
pemerintah pusat. Sebagian istri–istri korban dari pihak GAM merasa
bertanggungjawab meneruskan perjuangan, mereka lebih dikenal dengan sebutan Inoeng
Balee. Selain mengambil alih peran suami sebagai kepala kepala
keluarga yang bertanggung jawab untuk merawat dan menafkahi keluarganya, mereka
juga turut berperan dalam melakukan perjuangan,
baik dalam pertempuran maupun sebagai elemen pendukung.
Berbagai
strategi diterapkan oleh kedua pihak untuk mendapatkan kemenangan, yang
diantara strategi tersebut, baik yang dilakukan oleh GAM maupun militer
pemerintah pusat malah merugikan masyarakat. Penangkapan warga yang dicurigai
sebagai pejuang GAM, penculikan sebagai vonis terhadap cuak (mata–mata) membuat
masyarakat cemas dan diselimuti oleh rasa ketakutan . Strategi–strategi seperti
itu seakan menjadi teror bagi masyarakat, terutama yang bertempat tinggal di
wilayah pelosok. Kondisi
ini menyebabkan banyak kaum lelaki meninggalkan
tempat kediaman dan keluarganya dengan terpaksa demi menghindari incaran
tentara militer. Sehingga sebagian besar tempat di Aceh terutama didaerah
pelosok kebanyakan hanya dihuni oleh kaum wanita, anak-anak, dan para orang tua
yang sudah tak berdaya.
Dalam situasi serba darurat seperti
ini, perempuan aceh
harus berjuang untuk bisa bertahan
hidup dan mengambil alih peran suami sebagai tulang punggung keluarga.
Bayangkan, dengan kondisi jiwa yang terancam, mereka harus mati-matian bekerja keras demi menafkahi keluarga dan anak-anaknya. Bukan hanya itu, berbagai bentuk tindak kekerasan, seperti: penganiayaan, pelecehan seksual, dan pemerkosaan juga dialami oleh wanita Aceh saat itu.
Bayangkan, dengan kondisi jiwa yang terancam, mereka harus mati-matian bekerja keras demi menafkahi keluarga dan anak-anaknya. Bukan hanya itu, berbagai bentuk tindak kekerasan, seperti: penganiayaan, pelecehan seksual, dan pemerkosaan juga dialami oleh wanita Aceh saat itu.
Tragedi pemerkosaan yang dilakukan
oleh tentara militer Indonesia terhadap dara-dara Aceh saat itu
benar-benar sadis dan tidak berperikemanusiaan. Mereka ditelanjangi dan dipaksa
untuk memuaskan nafsu bejat tentara-tentara militer dengan cara yang
sangat biadab didepan keluarganya sendiri. Wanita Aceh saat itu seperti tidak
ada harga sama sekali dimata mereka. Kehidupan masyarakat Aceh pasca konflik
sungguh memprihatinkan. Banyak anak-anak dan wanita yang mengalami trauma
dan kehilangan semangat hidup karena penderitaan dan ketidak-adilan yang selalu
menyiksa batin dan jiwa mereka. Bahkan, tidak sedikit wanita-wanita Aceh yang
menjadi gila dan mencoba untuk bunuh diri akibat trauma yang ditimbulkan pada
masa konflik.
Selama bertahun-tahun masyarakat
Aceh hidup dalam darah dan air mata.
Berbagai tekanan tekanan dan penderitaan yang dialami menjadikan wanita-wanita Aceh sedikit lebih resisten, sehingga timbullah sebuah kesadaran dalam diri mereka untuk bisa bangkit dan berusaha memperjuangkan perdamaian. Sehingga pada tahun 2000, terbentuklah sebuah kongres wanita Aceh yang dikenal dengan ''Duek Pakat Inong Aceh''. Kongres ini dihadiri oleh kaum wanita dari berbagai latar belakang dan profesi yang berbeda. Ada yang berasal dari kalangan mahasiswi, ibu rumah tangga, inong balee, dan para wanita yang bekerja sebagai pegawai, mereka berkumpul, berbagi pengalaman, dan melakukan diskusi-diskusi serta pemecahan masalah dalam meraih impian mereka untuk mewujudkan damai di bumi Aceh.
Berbagai tekanan tekanan dan penderitaan yang dialami menjadikan wanita-wanita Aceh sedikit lebih resisten, sehingga timbullah sebuah kesadaran dalam diri mereka untuk bisa bangkit dan berusaha memperjuangkan perdamaian. Sehingga pada tahun 2000, terbentuklah sebuah kongres wanita Aceh yang dikenal dengan ''Duek Pakat Inong Aceh''. Kongres ini dihadiri oleh kaum wanita dari berbagai latar belakang dan profesi yang berbeda. Ada yang berasal dari kalangan mahasiswi, ibu rumah tangga, inong balee, dan para wanita yang bekerja sebagai pegawai, mereka berkumpul, berbagi pengalaman, dan melakukan diskusi-diskusi serta pemecahan masalah dalam meraih impian mereka untuk mewujudkan damai di bumi Aceh.
Beberapa
rancangan serta solusi untuk mewujudkan perdamaian dilakukan dengan cara
berdialog dengan berbagai pihak, termasuk kepada pemerintah pusat. Mereka juga
ikut andil dalam beberapa perundingan, bahkan sampai pada puncak perdamaian
Aceh dan Indonesia, yaitu tepat ketika terjadinya penandatanganan ''MoU
Helsinki'' antara GAM dengan pemerintah pusat pada tanggal 15 Agustus 2005,
peran dan keterlibatan wanita Aceh sangat besar.
Akan tetapi,
setelah adanya penandatanganan MoU di Helsinki, apakah kaum wanita di bumi Aceh ini sudah
merasakan perdamaian seperti yang diharapkan dan selalu diimpikan sejak dulu? Perlu
dipahami, bahwa arti perdamaian bukan hanya sekedar terbebas dari konflik dan
perang senjata. Perdamaian
yang sesungguhnya adalah ketika kita bisa menikmati kehidupan ini dengan penuh
ketentraman, aman, nyaman, dan terhindar dari segala bentuk ancaman dan rasa
takut.
Perdamaian memang
suatu anugrah terindah yang wajib disyukuri, akan tetapi damai yang dirasakan
oleh kaum wanita di bumi Aceh tak seindah yang diimpikan. Kehidupan kaum wanita
selama konflik dan sesudah konflik berakhir tidak jauh berbeda, selalu menjadi
korban dan menanggung berbagai luka dan penderitaan yang tidak ada habisnya. Dari
tahun ketahun, berbagai kasus tindak kekerasan, pelecehan seksual, pemerkosaan,
dan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan kepada kaum wanita semakin
merajalela. Sangat tidak wajar, sebagai daerah yang dijuluki sebagai “Nanggroe Seuramoe Makkah”
tetapi para wanitanya masih diperlakukan dengan tidak adil dan penuh dengan
penderitaan.
Mungkin
selama ini kita sering mendengar emansipasi wanita sebagai simbol gerakan
memperjuang keadilan bagi kaum wanita. Namun sangat disayangkan, emansipasi
belum sepenuhnya dapat diwujudkan dalam kehidupan masyarakat. Saat ini, di Aceh
hanya segelintir orang saja yang peduli dengan emansipasi, khususnya bagi
mereka yang tinggal di daerah perkotaan dan telah mengenyam pendidikan yang
tinggi. Sementara bagi mereka yang tinggal di daerah pelosok dan jauh dari
dunia pendidikan, masih sangat awam dengan kata emansipasi. Mereka tidak
menyadari akan hak-hak yang semestinya mereka dapatkan. Sehingga begitu banyak
ketidak-adilan yang dirasakan oleh wanita-wanita Aceh yang tinggal di daerah
pelosok. Mereka diberi batasan-batasan dalam melakukan sesuatu, posisi mereka
tidak boleh sama dengan kaum lelak apalagi jika sampai lebih tinggi dari kaum
lelaki.
Pertanyaannya,
siapakah yang harus bertanggung jawab atas ketidak-adilan yang selalu dialami
oleh kaum wanita Aceh?
Berbicara
tentang ketidak-adilan dan penderitaan yang selalu menghiasi kehidupan kaum
wanita ini, tentu tidak pernah terlepas dari kebijakan pemerintah dalam
mengatur negeri ini. Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan hak-hak dan
keadilan yang seharusnya diperoleh wanita. Mereka yang masih awam dengan kata
emansipasi dan jauh dari dunia pendidikan, seharusnya diberikan penyuluhan,
pelatihan dan wawasan agar mereka bebas berkarir di bidang manapun tanpa adanya
perbedaan dengan kaum lelaki. Selain itu, terhadap kasus-kasus kriminal dan
tindak kekerasan terhadap kaum wanita, pemerintah Aceh seharusnya lebih tegas
dalam memberlakukan hukum dan sanksi-sanksi demi menciptakan kedamaian dan
keamanan bagi kaum wanita.
Di sisi lain,
sebagai kaum wanita sudah seharusnya kita memiliki kesadaran dan semangat yang
tinggi untuk memperoleh keadilan dan kedamaian dalam hidup, tidak semata-mata
berharap belas kasihan dari pemerintah. Perdamaian tidak akan datang dengan
sendirinya, damai itu akan tumbuh jika kita menciptakannya. Konflik dan perang
senjata memang telah berakhir, tapi damai yang dirasakan oleh kaum wanita Aceh masih belum terwujud
dengan baik. Sudah seharusnya wanita Aceh sadar dan mau berjuang untuk
mewujudkan perdamaian yang sesungguhnya.
Pasca–Perdamaian,
dalam rentang beberapa tahun semenjak Aceh menjadi propinsi pertama yang
pemerintahannya dapat membuat berbagai kebijakan khusus demi pembangunan
propinsi, tampak jelas terjadinya ketidak-selarasan kebijakan pembangunan antara
pihak eksekutif dengan legislatif. Sebagai pimpinan dari wilayah eks konflik,
sudah seharusnya peran gubernur dapat dirasakan hingga masyarakat kecil. Namun,
sebagai pelaksana pemerintah propinsi, gubernur tidak meng-aplikasikan site
plan pembangunan kesejahteraan masyarakat yang merata dan berkelanjutan.
Untuk mencapai
tujuan tersebut, DPRA yang notabe perpanjangan tangan dari rakyat di dalam
pemerintahan, sudah seharusnya mengarahkan pihak eksekutif agar membuat
program–program pembangunan kesejahteraan yang lebih merakyat, bukannya mencoba
merakyatkan program–program tertentu. Selain itu, kurangnya keterlibatan wanita
yang membuat arah pembangunan Aceh terkesan “miring”. Semua itu berawal dari
semangat perjuangan kemerdekaan.
Esensi kemerdekaan tidak sekedar
berbicara lepas dari pendudukan penjajahan bangsa/ ras/ suku lain. Lebih dari itu, merdeka dari ketidak–adilan, kebodohan dan
kemiskinan! Untuk itu diharapkan segala dukungan, partisipasi dan kerjasama para perempuan aceh untuk
bersama–sama memperjuangkan kemerdekaan dan mewujudkan perdamaian yang
sesungguhnya demi kenyamanan dan keadilan yang dapat dinikmati oleh semua
pihak, terutama untuk perempuan
itu sendiri.
Penulis merupakan mahasiswi jurusan
Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Malikusssaleh.
Note: Tulisan
ini pernah mendapatkan penghargaan sebagai juara 1 dalam
lomba menulis Essay yang diselenggarakan oleh Balai Syura Ureung Inong Aceh. Tahun 2015.
No comments