.post-body img { width:500px! important; height:auto! important;}

Page Nav

HIDE

Grid

GRID_STYLE

Classic Header

{fbt_classic_header}

Header Ad

//

Breaking News

latest

Cerpen Malam itu di Singapore (caffe)

Oleh : Satria Ma ulana Malam itu malaikat Mikail memainkan perannya, yaitu menurunkan hujun dari langit (Alue-Awee). Ribuan...


3 sekawan
Oleh :Satria Maulana
Malam itu malaikat Mikail memainkan perannya, yaitu menurunkan hujun dari langit (Alue-Awee). Ribuan rintik air turun menyela obrolan dan hangat kopi di Singapore Cafee, dingin seperti tak lagi berarti. Aroma kopi mewangi di antara lingkaran kecil yang diisi 3 orang temanku, Rizki, Nanda dan seorang lagi yang sedikit 'konyol' yaitu Abul. Ketiga temanku ini adalah teman sekampungku, Rizki seangkatan denganku dikampus. Sedangkan Abul dan Nanda masih kelas 3 SMA. Tak masalah bukan, kita punya jalan masing-masing untuk menikmati -menjalani hidup.
"Ki, ini Cerpen pertamaku." sambil ku sodorkan laptopku. Dengan cekatan, Rizki mengecek cerpenku dan memberi wejangan ampuhnya. "mana Sat, coba lihat." suara Abul dengan nada penasaran atau merasa perlu membantu aku tak tahu, tapi laptopku diambilnya dan ia teliti kata per kata. Malam itu aku seperti anak TK yang terjebak di kerumunan intelektual muda, aktivis, dan pakar sastra.
Remang lampu bersatu dengan riuhnya kata yang orang-orang lontarkan. Maklumlah, cafee ini adalah salah satu tempat berkumpul dikampungku, obrolan manis-pahit tentang negara, keadaan sosial, wanita dan juga cinta adalah tema yang sering didiskusikan dari sekumpulan 'daging' disini. Satu hal yang sulit dilepaskan, apa pun tujuan awal kita ngopi, akan tiba waktunya kita ngomongin tentang cinta. Ya.. Ya, itu seperti kita nongkrong di warung kopi tapi pesennya avokado atau es teh. 'Mlipir'.
Seperti malam itu, ketika si Rizki dan Abul sibuk 'berlagak' menjadi pembimbingku, aku menyela di antara sok sibuknya Nanda dengan gadgetnya, "Nda, terakhir curhat kan lo, sekarang masih sama yang itu?" tanyaku dengan lirih. Nanda menaruh gadgetnya, "udah putus Sat". Suaranya terdengar tegas tak setegar tatapannya. "Loh kok bisa Nda?" tanyaku penasaran. "iya, ya bisalah Sat". Dia lebih milih sama kenalan barunya, yang ia kenal waktu dia ngetrip, anak slankers, pengusaha rongsok!" jawab Nanda sambil memegangi cangkir kopinya.
Aku tahu, sinisme ini bukan untuknya, slankers ataupun pengusaha rongsok. Mata kami dengan kompak tertuju pada sosok Nanda ini. Rizki dan Abul menaruh laptopku, seakan cerpenku tak penting lagi atau mereka menganggap cerpenku sudah benar, entahlah. Sebelum Nanda melanjutkan ceritanya, aku kembali mengingat waktu itu, dimana aku dan Rizki masih semester dua, dan mereka dikelas dua SMA semester dua pula.
Nanda yang setiap malam minggu dengan setia memegangi handphone-nya dan selalu nunggu wanita itu untuk sekedar berkomunikasi. Ya, karena waktu itu, wanita itu masih di dayah. Jadi hanya malam minggu saja mereka bisa berkomunikasi, itu pun dari handphone temannya. Tak hanya itu, tapi Nanda selalu setia dalam berbagai hal, dia membuktikan kalau dia benar-benar bisa menjaga komitmennya. Dan sampai saat ini, ia bisa. Aku iri.
Hujan berhenti, tapi aku tak tahu apakah mendung masih menggelayuti langit atau tidak. Tak lama si Nanda menyambung ceritanya, "kemarin dia.. Bla-bla-bla, padahal aku tahu cowok itu.. Bla-Bla-Bla, padahal bapak wanita itu .. Bla-bla-bla. Tapi di sisi lain, mungkin aku harus sadar diri, belajar ilmu ikhlas, atau mungkin ini teguran karena aku terlalu mencintai makhluk-Nya ketimbang pencipta-Nya. Bla-bla-bla." Ucap Nanda sambil menatapku. Sekarang aku tahu, mendung masih ada meskipun gelap menutupinya.
Seketika semua menjadi tiang-tiang kokoh untuk seorang teman yang 'dikhianati' karena mainset matrealisme atau lebih jauh lagi kita sebut hedonisme. Semoga aku salah. Tapi memang itulah yang terjadi, sekali pun aku tak bermaksud mengantagoniskan wanita itu. "udah Nda, gak usah sedih. Tahu sendiri kan, aku ditinggal gitu aja dua kali. Padahal kemarin di persembahan puisiku, aku tulis spesial buat dia, tapi kandas! selo kok." tutur Rizki yang gemar 'berpuitis' dengan kata "selo." ini. Abul mengawali tawanya, seakan ia menuntunku dan semua orang untuk bersama-sama mengikuti tawa nyinyirnya.
"Pak penyair, tukang galau, kenapa anda?" mereka berharap jawaban dari orang yang mungkin salah, mereka menatapku. Aku hanya bisa berkata, "melepas adalah puncak mencintai." "bagaimana kita merasa PeDe memiliki, sedangkan kita sendiri bukan kita yang memiliki." kembali ku lanjutkan kalimatku. "cinta adalah anugerah, bukan paksaan. Jadi biarkan saja dia terbang sejauh apa pun yang ia mau, selama kita sudah berusaha jadi yang terbaik. Serahkan endingnya sama Allah." aku tertawa, karena merasa sok bijak. Tapi dengan begitu aku tak lagi terlihat seperti anak TK.
Jawabanku ditegaskan lagi oleh Rizki dan Nanda Tapi setidaknya jawabanku berdasar. Aku lanjutkan cerewetku, "Nda, mungkin yang dia lihat sekarang kamu hanyalah ulat yang terperangkap di jaring laba-laba. Ia takut menolongmu, atau 'jijik' untuk mendekatimu karena suatu hal. Dan ia lebih memilih menolong kupu-kupu yang juga terperangkap, padahal kupu-kupu awalnya juga seekor ulat. Dan yang sering orang-orang lupakan adalah terlalu sibuk menolong ulat atau kupu-kupu, tapi tak pernah berpikir bahwa laba-laba belum makan."
"filosofis banget Sat." kata Nanda yang terlihat sambil mencerna kalimatku. Tiba-tiba Rizki nyambung, "simplenya, kita sebagai laki-laki harus berusaha menjadi taman yang menghadirkan kupu-kupu yang indah." begitu tandasnya. "kalau yang datang cuma hama, dan musim kemaraunya panjang gimana dong ki?" tanyaku sedikit ngawur. "sialan." katanya sambil tertawa. "hahahaha."
Kalimat pasrahku mengatakan. "itulah seninya hidup." atau "sudahlah, itu bagian dari jalan takdir." Tapi terkadang aku pun masih bertanya-tanya mengapa ketika kita serius, dia tak seserius kita? begitupun sebaliknya. Entahlah. Tapi begitulah pelajaran, meskipun itu ditempa dari tangan-tangan kasar dan berat tapi sebenarnya itu menguatkan. Kita telah disuguhi pilihan, galau atau bangkit. Jika kamu memilih galau, berarti kamu hanya memilih menikmati keresahanmu tanpa menemukan penyelesaian. Tapi kalian pasti tahu, aku lebih memilih galau, karena dengan galau setidaknya aku bisa menulis puisi. Jangan ditiru. Pilihlah bangkit, dan tak usah sibuk mencari kesenangan, tapi ciptakan kesenangan itu.
Ditinggalkan dan meninggalkan adalah masalah untuk semua manusia. Entah sekarang atau suatu hari nanti, kita pasti ditinggalkan atau meninggalkan orang yang kita cintai ataupun yang mencintai kita. Tegar, ikhlas, dan serahkan kepada Allah yang maha mengetahui segala sesuatu. Kita tak pernah diberi beban melebihi batas kekuatan kita, seperti halnya Allah tak menciptakan manusia bisa terbang, (khusnudzon) karena Allah tahu manusia bisa membuat kapal terbang. Kuatlah, kita memang harus jatuh kalau ingin bangkit.

No comments