Oleh: Zul Afrizal* BELUM usai berita duka buat nurani yang baru saja disakiti dengan tergoresnya nama mulia Aceh yang t...
Oleh: Zul Afrizal*
BELUM usai berita duka buat nurani yang baru saja disakiti dengan
tergoresnya nama mulia Aceh yang tersayat, karena ulah oknum yang tak
bertanggung jawab di pusat ibu kota negara bangsa yang konon katanya
berbudaya ini, hanya karena ingin maju ke pemilihan “Putri negeri”
haruskah mengorbankan jati diri kami sebagai pewaris Tanoh Rincong bumoe
Aulia yang mulia ini.
Hanya tak sudi duduk manis sebagai penonton, lantas mencoba mendaftarkan
diri sebagai peserta dengan membawa dan mengatasnamakan diri sebagai
wakil dari Aceh, di kontes Miss Indonesia 2016 yang berlangsung
baru-baru ini di Jakarta. Padahal masyarakat maupun pemerintah Aceh tak
pernah mengirimkan pesertanya ke ajang tersebut.
Miris sekali rasanya, saat luka lama belum sembuh, tergores pula luka
baru yang lebih dalam. Di tengah-tengah tuntutan pemuda pemudi terhadap
“putri” yang gagal terpilih di ajang Miss Indonesia 2016 tersebut,
kembali lagi hati ini terluka saat dihadapkan dengan sebuah event
pemilihan model baru-baru ini, di satu hotel berbintang di Banda Aceh.
Para putri jelita yang baru menginjak usia remaja hingga dara dewasa
--dengan mengatasnamakan keindahan seni dan kebebasan berekspresi--
mengikuti kontes pemilihan model terbaik daerah untuk selanjutnya ke
tingkat Nasional.
Tidak ada yang salah dari nama kegiatan acara, kepanitiaan, pendaftaran
hingga keikutsertaan para peserta dalam acara tersebut. Semua mungkin
berjalan sebagaimana diharapkan, kesalahannya adalah pada tempat letak
wilayah acara diselenggarakan. Ini Aceh bukan tempat yang tepat jika
yang diharapkan seperti itu. Ini Aceh, bukan Jakarta, bukan Bandung atau
provinsi lainnya. Setiap proses pelaksanaan kegiatan di Aceh punya
aturan, tata laksana eksekusi hingga ketentuan yang berlaku.
Negeri syariat
Ini Aceh negeri yang sedang menata kembali kehidupannya pascakonflik berkepanjangan dan musibah tsunami, hingga kemelut politik dan kepentingan yang semakin hari semakin menjadi. Hiruk pikuk persoalan demi persoalan yang bermunculan, nama baik Aceh dan agama Islam pun menjadi tujuan utama yang dipertahankan. Di sini negeri dengan qanun syariat Islam menjunjung tinggi moral dan ilmu pengetahuan.
Ini Aceh negeri yang sedang menata kembali kehidupannya pascakonflik berkepanjangan dan musibah tsunami, hingga kemelut politik dan kepentingan yang semakin hari semakin menjadi. Hiruk pikuk persoalan demi persoalan yang bermunculan, nama baik Aceh dan agama Islam pun menjadi tujuan utama yang dipertahankan. Di sini negeri dengan qanun syariat Islam menjunjung tinggi moral dan ilmu pengetahuan.
Ini Aceh, boleh saja menjadi rahasia umum bahwa tidak sedikit
penyelewengan syariat yang terjadi, namun tidak sedikit pula semangat
putra-putri negeri untuk muncul dan semakin ingin menjaganya. Identitas
perempuan Aceh yang shalihah, santun, berbudi luhur dan tegas dalam
bersikap telah terukir rapi sejak tempo doeloe. Putri Aceh tidak lemah,
putri Aceh tidak loyo, santun, teguh dan tegas dalam berprinsip, hingga
tak mudah ditaklukkan dengan tipu daya orang asing yang datang. Terbukti
dalam sejarah, berapa banyak pejuang wanita yang lahir dari Nanggroe
ini? Berapa banyak yang mempertahankan kedaulatan negeri? Berapa banyak
yang dengan bismillah berperang rela mati? Berapa banyak pula yang
menjadi panglima perang dalam mengusir penjajah di tanah Pertiwi?
Putri Aceh bermartabat hingga tak mampu dijadikan budak sahaya
pelampiasan nafsu durjana penjajah. Putri Aceh bermoral hingga tak mudah
memamerkan bagian tubuhnya terpajang dan disaksikan oleh khalayak
ramai. Puteri Aceh begitu mulia sesuai dengan amanah Alquran dan hadis
yang mulia. Putri Aceh adalah jiwa semangat negeri ini, ibarat tiang
sokong sebuah bangunan, jika tiangnya patah maka luluhlantaklah bangunan
ini.
Jika engkau para wanita tiang negara, cicit dari panglima perang wanita
teragung di dunia bernama Keumalahayati, cucu Cut Nyak Dhien, Cut Meutia
dan pahlawan wanita lainnya di Aceh ini. Lantas wajarkah jika engkau
sia-siakan perjuangan mereka, menodai darah mereka dengan tingkah lakumu
yang telah jauh dari jati dirimu yang sesungguhnya? Ke mana hati
nuranimu? Apakah kandas dan hilang bersama hilangnya malumu, hingga tak
risih lagi saat sekujur tubuhmu dinikmati oleh mata-mata yang bukan
mahram-mu.
Di mana identitasmu sebagai wanita beragama, berakhlak dan berilmu
pengetahuan? Jika kita sendiri tidak sudi menjaganya, maka wajar saja di
luar sana ada sekelompok wanita lainnya yang menyalahartikan keindahan
seni dan melupakan nilai budayanya, berani melucuti benang-benang
pakaian Aceh ini hingga nantinya kita menjadi generasi yang tak tahu
malu.
Saat sedang berlangsungnya acara kontes model tersebut, tanpa diduga
hadir di sana Wali Kota Banda Aceh yang akrab disapa dengan panggilan
Bunda Illiza, yang datang tiba-tiba dengan beberapa staf yang
mendampinginya. Beliau langsung saja beliau mengambil alih dan
membubarkan acara tersebut, seraya mengajak para panitia dan pihak
terkait dengan penyelenggaraan acara ini menuju ke Balai Kota Banda Aceh
untuk audiensi dan berdialog.
Patut dicontoh
Sebuah pemandangan haru dan inspiratif kala seorang pemimpin yang telah berjanji pada rakyatnya akan selalu siap menjadi mitra masyarakat dalam penerapan syariat Islam, muncul dan membuktikan keseriusannya dalam memimpin dan memangku amanah. Satu hal yang patut dicontoh oleh para pemimpin pemerintahan kabupaten/kota, bahkan provinsi lainnya sekalipun. Keberanian dan ketegasan tersebutlah yang merupakan satu dari warisan akhlak yang diwarisi para leluhur wanita dari zaman dulu bahwa masyarakat mengimpikan pembuktian terhadap janji demi janji yang telah di sampaikan.
Sebuah pemandangan haru dan inspiratif kala seorang pemimpin yang telah berjanji pada rakyatnya akan selalu siap menjadi mitra masyarakat dalam penerapan syariat Islam, muncul dan membuktikan keseriusannya dalam memimpin dan memangku amanah. Satu hal yang patut dicontoh oleh para pemimpin pemerintahan kabupaten/kota, bahkan provinsi lainnya sekalipun. Keberanian dan ketegasan tersebutlah yang merupakan satu dari warisan akhlak yang diwarisi para leluhur wanita dari zaman dulu bahwa masyarakat mengimpikan pembuktian terhadap janji demi janji yang telah di sampaikan.
Inilah pemimpin wanita yang dirindukan, mudah-mudahan ini tidak hanya
dilakukan oleh pemerintahan kota madani, namun kita juga menunggu karya
bakti pemimpin lainnya di bumi Serambi Mekkah ini. Atau bila mungkin,
kita juga harapkan kepada para kandidat calon yang telah mengusungkan
dirinya menjadi eksekutif setahun ke depan nantinya, dengan sudah adanya
peraturan saja masih terjadi penyelewengan seperti ini, bagaimana jika
tidak, lantas pentas apalagi yang akan kita tunggu?
Tidak hanya kontes itu saja, tontonan VCD klip lagu dan film Aceh juga
perlu kajian khusus sebagai wujud peningkatan nilai syariat Islam di
Aceh. Pasalnya VCD klip yang kerap ditonton oleh semua lini masyarakat
pun juga ikut meresahkan dengan aksi para talent yang dicontoh oleh
generasi kita. Artinya, jika contoh baik yang didapat maka baiklah pula
yang dibuat, namun jika contoh buruk yang diikuti, maka
wassalamu’alaikum identitas Aceh dan moral bangsa ini.
Kita tentu tidak ingin identitas dan budaya Aceh yang islami ini hilang,
lenyap, dan tak terwarisi kepada anak cucu generasi penerus kita. Kita
tentu tak ingin identitas dan budaya Aceh yang bermartabat ini hilang
entah kemana, seperti lirik lagu Boh Hate Bergek yang saat ini sedang
hit di tengah masyarakat Aceh. Jadi, jangan sampai suatu saat nanti kita
menyesali dan meratapi nasib, mencari identitas dan budaya kita yang
hilang; Aceh lon gadoh aleh ho. Nah!
* Zul Afrizal, S.Pd.I, M.A., Guru SMA Negeri 2 Nisam, Aceh Utara. Email: zulafrizal@gmail.com | disalin dari aceh.tribunews.com
No comments