Saat hati begitu ingin dan tuhan masih saja berkata "tunggu". Lalu aku bisa apa jika memang tuhan mengharuskan ku untuk menungg...
Saat hati begitu ingin dan tuhan masih saja
berkata "tunggu". Lalu aku bisa apa jika memang tuhan mengharuskan ku
untuk menunggu lebih lama lagi? Aku ingin sekali protes, tapi pada siapa? Aku ingin
sekali mencaci, tapi mencaci siapa? Aku ingin sekali mengutuk takdir ku, tapi
untuk apa?
Dan pada akhirnya aku sadar, tuhan tak
memberikan apa yang aku inginkan karena dia memiliki rencana yang jauh lebih
baik untuk ku.
3 tahun lalu aku lulus SMA dan sangat ingin
sekali melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi. Almamater, toga, mendali dan
gelar sarjana adalah impian ku sejak pertama kali aku mengenakan seragam putih
abu abu. Impian itu seolah menjadi motivasi ku untuk terus bertahan meski ada
saat dimana aku jenuh dengan berbagai kegiatan sekolah. Namun apa bisa dikata,
kita punya impian dan tuhan pun memiliki rencana. Pada dasarnya hidup memang
seperti sebuah drama, kita aktris/aktor dan tuhan yang membuat skenario. Lagi
lagi dalam skenario ini uang lah yang berkuasa.
Sagita Denasya Elvo. Itu namaku pemberian
orang yang sama sekali tak ku kenal. Orang tua? Jangan pernah tanyakan itu
padaku! Karena sampai detik ini aku tak pernah tau apa arti dari sebutan orang
tua. Mungkin kegagalan sudah menjadi takdir ku, bahkan aku terlahir dari sebuah
kegagalan. Kau tau, aku merasa seperti tak di inginkan, oleh orang sekitar
bahkan oleh seseorang yang telah melahirkanku. Jangankan memberikan kasih
sayang, bahkan namaku saja merupakan sumbangan dari orang lain. Yakinlah
kenyataan ini lebih sakit daripada sekedar patah hati.
Aku dibesarkan oleh nenek dan kakek dengan
kehidupan yang sangat pas pasan jauh dari kata mewah.
Impian ku, aku ingin bekerja dengan
menggunakan pena, di ruangan ber AC, tanpa harus membanting tulang terlalu
keras hanya untuk kehidupan hari demi hari. Impian ku itu yang membuatku sangat
ingin untuk mendapatkan gelar sarjana karena aku tau betapa sulitnya
mendapatkan pekerjaan hanya dengan bermodal ijazah SMA. Namun kembali lagi pada
skenario tuhan, tuhan tak memberiku izin.
"Kau tau hidup kita pas pasan? Kuliah
berbeda dengan SMA, kuliah lebih banyak membutuhkan biaya. Aku hanya takut jika
kau berhenti dipertengahan hanya karena kami tak lagi mampu membiayai mu"
ucapan itu langsung mengenai sudut hatiku. Kepala ku begitu panas seperti ingin
meledak. Dan akhirnya mataku mengeluarkan lahar panasnya. Ingin sekali rasanya
aku berteriak didepan mereka, namun tak mungkin rasanya melakukan itu. Akal
sehatku seolah hilang, aku berlari menuju ruang kecil tempat ku beristirahat
disaat malam dan tempatku berkeluh kesah.
Jika pendidikan tinggi hanya untuk orang
orang kaya, lalu bagaimana caranya kami yang tak mampu ini merubah nasib.
Bahkan jika dibandingkan dengan mereka yang memiliki banyak uang, kami yang tak
mampu inilah yang memiliki kemauan yang besar dan peduli pada dunia pendidikan.
Sedangkan mereka sibuk menghambur hamburkan uang untuk keperluan yang tidak
penting.
Seminggu berlalu dan aku masih tak mau
menemui siapapun. Bahkan saat nenek dan kakek berbicara aku tak ingin
mendengarnya. Dimana ibu yang seharusnya memberiku dorongan, yang membuatku
tenang dengan sentuhan kasih sayangnya?
Dimana ayah yang seharusnya berusaha untuk
bisa memenuhi kebutuhanku seperti ayah hebat yang dimiliki teman temanku?
Ingin sekali rasanya aku memaki mereka
berdua! Ingin sekali rasanya aku meneriaki bahwa aku sangat menyesal telah
lahir dari rahimnya!
Sebulan, dua bulan, tiga bulan. Aku masih
seperti ini, seperti tak memiliki semangat hidup. Ku tuangkan semua keluh
kesahku dalam sebuah catatan hidup. Setidaknya dengan ini aku bisa sedikit
merasa lega. Sekali waktu aku melihat teman seperjuanganku di SMA memakai
almamater dengan langkah terburu buru melewati rumahku, mungkin karena takut
terlambat kekampus. Rasa sakit itu kembali melanda, pakaian yang terlihat
sederhana itu adalah impianku dulu.
Hari itu kakakku datang kerumah, kakak
sepupu tepatnya. Namanya Devi.
"Gita, ini kakak. Buka pintunya
dong" dengan langkah gontai aku membukakan pintu.
"Hei kakak bawain bubur ayam kesukaan
kamu nih, kita makan bareng yuk"
"Makan aja sama nenek kakek, aku nggak
lapar" jawabku tak bersemangat.
"Kata nenek kamu belom makan, ayolah!
Ntar kakak suapin deh"
"AKU NGGAK LAPAR! KENAPA MAKSA
SIH?!" aku menjawab dengan nada tinggi, dan kak Devi pun hanya diam
memandangiku.
"Maaf, aku cuma tidak suka
dipaksa"
"Kamu masih kepikiran masalah
itu?" Aku tak menjawab pertanyaannya karena tanpa dijawabpun dia pasti
sudah tau jawabannya.
"Udah 3bulan lho git, kamu mau terus
begini sampai kapan? Kamu uring uringan begini terus juga nggak bisa merubah
keadaan. Lupakan saja, masih banyak kesuksesan lain menunggumu diluar
sana"
"Kakak ngomong gitu karena nggak
ngerti gimana jadi aku! Kakak beruntung punya orang tua utuh yang bisa memenuhi
kebutuhan kakak sampai kakak bisa melanjutkan pendidikan seperti itu. Itu yang
membuatku iri pada mu. Hidupmu terlihat sempurna, sedangkan aku! Takdir ku
sangat menyebalkan!"
"Aku tak sesempurna yang kau lihat,
kau tak tau begitu banyak pula ujian yang ku hadapi. Bahkan aku nyaris berhenti
kuliah karena hidupku pun pas pasan. Kau juga tau adik adikku butuh biaya untuk
sekolahnya"
"Setidaknya kau masih diberi jalan
untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dan dengan begitu kau memiliki
kesempatan untuk merubah nasibmu yang pas pasan itu. Sedangkan aku, hanya jalan
buntu yang ku temui"
"Itu karena kau tak mau mencari jalan
lain, padahal jalannya tak hanya satu tapi kau terus saja meratap dijalan buntu
itu, tanpa kau sadari di sebelah sana masih ada jalan yang terbentang untuk kau
tempuh" aku terdiam. Ntah kenapa rasanya tenang mendengar kata kata itu.
Selama ini aku memang sangat dekat dengan kak Devi.
"Apa ini?" Kak Devi mengambil
catatan tempat ku menuangkan keluhan keluhan kehidupanku. Aku tak mempedulikan
ucapannya, dia sibuk membolak balik catatanku.
"Ya sudah, kakak pulang dulu. Besok
jika ada waktu, kakak kesini lagi. Jangan lupa buburnya dimakan, jangan siksa
dirimu seperti ini terus. Sukeses tak harus jadi sajana! Jika sikap mu seperti
ini, kesannya kau hanya teropsesi pada sebuah gelar dan pengakuan dari orang
lain saja. " Kak Devi berlalu pergi. Aku masih setia dengan diamku.
Seminggu kemudian, kak devi kembali
menemuiku. Aku masih saja seperti itu.
"Gitaaa gitaaa buka pintunya! Lihat
ini! Cepat buka pintunya!" Kak devi seperti orang kesurupan menggedor
pintu kamarku. Langkah ku tak semangat menuju pintu, saat pintu dibuka, kak
Devi langsung melompat kearahku. Dia terlihat bahagia, ntah apa yang membuatnya
seperti itu.
"Ada apa ini, kenapa teriak teriak
Devi?" Nenek dan kakek menghampiri kami. Kak devi menyalami keduanya. Aku
masih tak mengerti, apa yang membuatnya sesenang itu.
"Sekarang ceritakan! Ada apa sampai
kamu segirang itu?" Tanya kakek. Aku pikir mungkin masalah kuliahnya, aku
tak berminat mendengar ceritanya dan ingin kembali masuk kekamar tapi dia
menahanku.
"Ehhh gita kamu mau kemana?! Sini aku
tunjukin sesuatu!" Kak devi membuka tasnya dan mengeluarkan sesuatu.
Majalah. Ngapain sih dia nunjukin majalah, buat apa?!
"Kamu baca deh yang ini!" Masih
tidak mengerti tapi aku menurut. Aku membaca sebuat tulisan, tapi mata ku
langsung tertuju pada nama penulis itu.
"Sagita denasya elvo?" Aku
memandang kak devi seolah meminta jawabannya. Kak devi tersenyum lebar.
"Itu tulisanmu" aku bingung
mendengar Jawaban kak devi.
"Jangan ngaur kak, Kapan aku pernah
mengirim tulisanku ke majalah?"
"Kamu memang tidak melakukannya, tapi
aku yang turun tangan. Karena mubazirkan kalo cuman buat dokumentasi
pribadi" jawab kak devi sambil berkacak pinggang.
"Apa sih yang kalian bicarakan ini,
nenek tidak mengerti"
"Ya sudah sekarang semuanya duduk!
Akan aku jelaskan" kak devi menjelaskan semuanya. Ternyata dia yang
mengirim tulisanku ke penerbit majalah itu.
"Kau memiliki hobi menulis dan hobi mu
ini merupakan bakatmu. Impianmu adalah bekerja dengan pena diruangan berAC, kenapa
tak kau jadikan hobimu sebagai pekerjaanmu?! Akan sangat bahagia jika hobi kita
terlihat dan di apresiasi semua orang. Ini salah satu jalan mu menuju sukses.
karena kau terlalu sibuk meratapi jalan buntu mu, kau tak menyadarinya"
aku tak tertarik dengan omongan kak devi.
"Ini" kak devi memberi sebuah
amplop padaku. Aku tak langsung mengambilnya.
"Apa ini?"
"Honor tulisanmu. Setiap tulisan yang
diterbitkan, penulis akan mendapatkan bayaran" aku tersenyum kecut.
"Jika kau melakukan ini karena kasihan
padaku, terimakasih tapi aku tak butuh belaskasihan dari siapapun" aku
berlalu meninggalkan mereka. Apa apaan ini, kak devi menyuruhku menjadi penulis
hanya untuk uang yang tidak seberapa itu.
Kak devi kembali datang, seperti tidak
bosan bosannya memberiku pencerahan. Tapi aku yang mulai muak mendengarnya.
"Git, kamu masih marah sama kakak?
Kakak minta maaf ya" aku tak menjawab.
"Maksud kakak baik kok, kakak nggak
mau kamu terus seperti ini"
"Udahlah kak, aku udah cukup muak mendengar
nenek, kakek dan sekarang kakak ikutan mencerahami aku! Kalian bisa ngomong
gitu karena kalian tak pernah merasakannya! Saat kau ingin menggapai sesuatu
dan tanganmu sangat lemah, kakimu tak mampu berdiri tegak lagi, bahkan hatimu
seperti mati rasa. Kau tak pernah merasakannya!"
"Aku mungkin tak mengerti dengan apa
yang kau rasakan, tapi setidaknya jika aku diposisimu aku tak akan seperti kau
yang begitu pengecut menghadapi kenyataan. Kau tak bisa menerima kenyataan
karena kau terlalu lemah dan kau.."
"AKU BUKAN SEORANG PENGECUT!" aku
memotong ucapan kak devi dengan nada tinggi.
" jika kau bukan pengecut, tak mungkin
kau mengalah pada masalahmu, menghindari semua orang, menghukum dirimu sendiri.
Aku menemukan jalan suksesmu yang seharusnya kau temui sendiri, tapi kau bahkan
tak peduli."
"Sudah ku bilang, aku tak butuh
bantuan siapapun, aku tak butuh belaskasihan siapapun. Aku akan kuat dengan
jalan ku sendiri! Kau tak perlu melakukan semuanya untukku karena aku tak
membutuhkannya! Kau pikir aku mau jadi seorang penulis?! Jangan konyol kak! Aku
tak akan bisa membuat nenek dan kakek bahagia hanya dengan uang yang ku dapat
dari sebuah tulisan itu! Memang benar hobi ku menulis tapi untuk pekerjaan aku
akan memilih yang bisa menghasilkan banyak uang!"
"Dengarkan aku! Ubah semua pandanganmu
itu! Pekerjaan apapun tak akan cocok untuk mu jika yang kau pikirkan hanya
uang! Kau akan menjadi seperti harimau kelaparan yang menerkam siapa saja hanya
untuk memuaskan hasratnya. Kau tau? Koruptor adalah salah satunya! Bukankah
dulu kau selalu bilang bahwa kau sangat membenci koruptor lalu sekarang kau bertingkah
seperti mereka! dan ada saatnya kita butuh belaskasihan orang lain! Tak semua
hal mampu kita lakukan sendiri, kau tau itu gunanya keluarga, teman dan orang
sekitar.
Ayolah untuk apa kau masih meratapi yang lalu, itu menandakan bahwa kau memang pengecut!" Aku tenggelam dalam isakku. Aku tak bisa lagi menjawab ucapan kak devi.
Ayolah untuk apa kau masih meratapi yang lalu, itu menandakan bahwa kau memang pengecut!" Aku tenggelam dalam isakku. Aku tak bisa lagi menjawab ucapan kak devi.
"Baiklah, ku rasa aku sudah cukup
menasehatimu. Mungkin kau tak butuh bantuan ku, kau tak membutuhkan orang lain.
Jika kau merasa, kau bisa melakukan semuanya sendiri. Lakukan!" Kak Devi
meninggalkan ku yang masih terisak. Seminggu setelah kejadian itu kak devi tak
lagi datang. Ntah lh mungkin dia tak mempedulikan ku lagi.
"Hallo" terdengar suara kak devi
di seberang sana, ya aku sadar bahwa aku memang membutuhkan orang lain.
"Hallo kak, ini aku. Ku harap kau
masih mau membantuku" kak Devi mematikan telponnya. Mungkin dia benar
benar marah. Bodohnya aku, seharusnya aku bersyukur memiliki kakak yang mau
membantuku. Tapi karena ego ku, beginilah jadinya.
Aku terhanyut dalam khayalku, begitu banyak
kata "seandainya" dalam bena ku. Ketukan pada pintu kamarku
membuyarkan lamunanku. Aku melangkahkan kaki untuk membukakan pintu.
"Kak Devi!" Aku melompat dalam
peluknya. "Ku pikir kak devi marah dan tak akan datang". Kak devi
membelai rambutku. "Mana mungkin kakak tak akan datang. Baiklah sekarang
katakan apa yang bisa kakak lakukan untukmu?"
"Aku mau mengikuti saran kakak,
mungkin aku terlalu berpikiran dangkal.aku lupa bahwa untuk mencapai kepuncak
tertinggi kita harus melalui jalan yang dipenuhi kerikil tajam. Semakin tinggi sebuah
impian akan semakin sulit jalan yang ditempuh. Namun itu sebuah ujian untuk
menentukan apakah kita layak atau tidak untuk impian tersebut. Jika aku
menyerah sekarang itu menandakan bahwa aku tak layak untuk itu. Akan ku buktikan
pada semua bahwa aku benar benar layak untuk mendapatkannya." Isak ku
menyatu dengan tangis haru kak devi. Aku memeluk kak devi erat, aku merasa beruntung
memilikinya.
"Terimakasih kak. Kau telah membuka mata
ku"
"Gita, terkadang kuda memang harus
menerima cambukan agar dia bisa menyadari bahwa jalan yang telah dia tempuh itu
salah. jangan biarkan kecewa mu membuatmu bungkam tak bersuara"
Aku meminta maaf pada nenek dan kakek. Aku
merasa selama ini aku sangat tidak bisa diandalkan. Akan ku tebus semua
kesalahan ku itu, aku berjanji pada kalian. Kak devi membawaku menemui redaksi
penerbit sebuah majalah. Ini adalah hari dimana aku kembali menemukan seberkas
cahaya setelah sekian lama berada dalam kegelapan. Aku seperti kembali hidup,
seakan baru saja pulang setelah sekian lama pergi. Dan inilah aku! Dengan cerita
baruku! Akan ku ciptakan suksesku dengan jalanku sendiri.
Aku memulai semua dari nol, menulis
beberapa cerita pendek untuk ku koran, majalah dan surat kabar lainnya. Tak
semua jalan yang ku lalui itu mulus. Penolakan, kritikan bahkan cibiranpun, aku
sudah terbiasa dengan itu. Tak akan ku biarkan diri ini jatuh untuk kedua
kalinya. seiring berjalan waktu, keberadaan ku mulai diakui oleh semua orang. Bukan
hanya menulis cerpen dan puisi, akupun sudah menerbitkan sebuah novel sekarang.
Kau tau novel itulah yang membawaku kesebuah pintu sukses yang sudah sejak lama
aku impikan.
Aku berhasil menerima sebuah penghargaan novel terlaris tahun ini, dan semua orang benar benar telah mengakui ku. Ya semua orang, tapi tidak termasuk ibu dan ayahku yang sampai saat ini tak pernah ku tau keberadaannya. andai saja mereka tau, aku ingin sekali merasakan kasih sayang mereka, orang tua kandungku. Jadi intinya seperti ini, jika memang kalian (para pemuda) masih belum siap untuk menjadi seorang ibu dan ayah, jangan berbuat sesuatu yang akan merusak masa muda kalian. Kalian tidak akan tau bagaimana masa depan bayi yang kalian terlantarkan, kalian tak akan tau bagaimana perasaannya yang haus kasih sayang dari orang tua kandungnya. Jika memang anak adalah amanah dari sang pencipta jangan sampai kau amanahi dia kepada orang lain karena itu adalah kewajibanmu.
Aku berhasil menerima sebuah penghargaan novel terlaris tahun ini, dan semua orang benar benar telah mengakui ku. Ya semua orang, tapi tidak termasuk ibu dan ayahku yang sampai saat ini tak pernah ku tau keberadaannya. andai saja mereka tau, aku ingin sekali merasakan kasih sayang mereka, orang tua kandungku. Jadi intinya seperti ini, jika memang kalian (para pemuda) masih belum siap untuk menjadi seorang ibu dan ayah, jangan berbuat sesuatu yang akan merusak masa muda kalian. Kalian tidak akan tau bagaimana masa depan bayi yang kalian terlantarkan, kalian tak akan tau bagaimana perasaannya yang haus kasih sayang dari orang tua kandungnya. Jika memang anak adalah amanah dari sang pencipta jangan sampai kau amanahi dia kepada orang lain karena itu adalah kewajibanmu.
No comments