“Gara-Gara Aku, Ibu Mati” Dewi tahu , ia tak punya ibu ...
Dewi tahu, ia tak punya ibu sejak ia dilahirkan. Mengapa orang-orang
sekitar berulang kali menanyakan perihal ibunya? Bedebah, mereka terlalu usil
mengungkit riwayatnya. Bukankah itu sudah takdir, yang tak mungkin terulang kembali
seperti waktu yang tak mungkin mundur ke belakang walau hanya sepersekian detik
saja? Dewi yang piatu tak pernah menyusu pada siapa pun. Ia di asuh bapaknya
dan neneknya, serta kasih sayang tiga saudara laki-lakinya. Dewi anak terakhir
dari empat besaudara. Ketiga saudaranya laki-laki. Namun demikian,
perasaan-perasaan sebagai anak terkasih teramat perih, berawal dari peristiwa
itu.
Peristiwa? Kejadian? Kenyataan itu harus ia alami hingga kini, sampai detik ini, bahkan sejak ia berusia 3 bulan, tinggal dirumah kecil penuh kasih yang membuatnya tak mengenal perasaan kehilangan. Ketiga saudara laki-lakinya, Faisal, Aldi dan Aldo si kembar, berlomba-lomba saling membahagiakannya. Begitupun neneknya yang sangat setia menimangnya, mengasuh, mendidik, mencurahkan seluruh kasih sayangnya pada Dewi.
Nikmat mana lagi yang kau dustakan, wi?
“Nek, bapak kemana?” Ia sesekali
mempertanyakan keadaan bapaknya yang entah dimana adanya. Nek Sopiyah hanya
mampu menahan air mata yang hendak tumpak ke wajah keriputnya, menjelang usia
95 tahun ia sangat tegar menghadapi peristiwa itu.
Dewi melamun di pojok warung kopi.
Hari masih sangat dini. Musik pop mengalun seirama perasaannya, menggetarkan
secangkir kopi di atas meja. Menurut Bu Inah, pemilik warung kopi, lidahnya
mengenal rasa kopi dari kebiasaan bapaknya yang suka ngopi. Padahal ketiga
saudara laki-lakinya hampir tak suka ngopi, hanya sesekali mersakan harumnya
kopi saat ibunya menyodorkan kopi untuk bapaknya sesaat sebelum berangkat kerja.
Pak Madi, bapaknya sudah mengenal
kafein cair itu sejak masih Sekolah Dasar. Kebiasaannya mengopi tertular pada
anak bungsunya. Kini ia menggemari kopi. Padahal Ibunya pun tidak suka kopi.
Bahkan Nenek tak pernah menyiapkan kopi, kecuali untuk kakek yang tak
pernah dikenalnya. Kakek meninggal sejak kakak pertam Dewi berusia 2 tahun.
Mata Dewi menerawang. Wajahnya muram,
berbeda dengan foto-foto sumringah saat ia masih mengenakan seragam SMP dan SMA
di Pondok Pesantren Al-Azzamiyah dengan teman-temannya. Dewi termasuk gadis
genius, ia menjurai ranking sejak kelas satu SMP hingga ia lulus SMA dan
mendapatkan gelar siswa terbaik se-Pondok Pesantren. Dalam seminggu terakhir,
ia memasrahkan diri pada peristiwa yang mengalir. Yang berbisik bahwa hidup ini
sudah tamat. Sejak ibunya meninggal dan bapaknya pergi meninggalkan rumah serta
anak-anaknya.
Pintu rumahnya diketok, seseorang
menyodorkan surat padanya. Belum sempat lidahnya mengucapkan kata-kata
bertanya, dari siapa surat ini? Untuk siapa surat ini? Laki-laki itu berbegas pergi
tanpa kata. Ia baca isi surat itu dengan penasaran, matanya menyala. “Aku kangen
kalian anak-anakku” Ternyata hanya sebait kalimat yang tertera.
Oh, bedebah macam apa yang selalu
membuatku marah? Tak hanya ketika ku dengar cerita bahwa dia pergi meninggalkan
kami dengan alasan ingin menikah lagi. Seperti binatang saja, setelah ibu
tiada, dan kami tumbuh besar, saat itu aku masih bayi, kau pergi begitu saja
menelantarkan kami dan nenek. “Kau laki-laki tidak bertanggung jawab, pengecut,
brengsek” Dewi memaki dalam hatinya.
Sesaat Dewi rapuh dengan keadaan
yang menyelimutinya. Ia menyalahkan diri sendiri, “Andai saja aku tidak
dilahirkan, mungkin ibu masih hidup bersama nenek dan kakak-kakku. Tuhan,
kenapa aku harus dilahirkan!?” Dalam hatinya ia berontak. Dalam kesunyian ia
menangis, ia memaki dirinya sendiri. Seketika Dewi teringat ucapan Nenek bahwa ibumu
belum meninggal, dia hanya berpindah tempat dan sedang menunggu kalian di
firdaus.
Semenjak ia masuk dalam dunia
pendidikan lebih tinggi, kehidupannya dihiasi tentang pelajaran dan buku-buku
yang dibacanya. Ingatan itu membuat Dewi beranjak ke perpustakaan pondok
pesantren dan mengambil kitab fiqih muslimah di rak nomor dua. Nama pengarang
itu, adalah Robiatul Adawiyah. Buku pertama yang dia baca saat mondok dan waktu
itu tanpa sengaja ia mengambil untuk di taruh kembali di rak karena jatuh
dilantai. Sebelumnya, ia sempat membaca pengarang beserta biografi buku
tersebut. Sontak hatinya tertegun, sederet pertanyaan mengawang-awang dalam
pikirannya. “Apakah penulis buku ini benar ibuku?”
Diam-diam ia bawa buku itu dan ditanyakan
pada nenek. “Ibumu orang hebat Wi. Dia penulis, penceramah, pandai mengaji”
Ucap nenek waktu mengunjungi Dewi di Pondok. Ibu sangat genius, sebenarnya
sudah banyak karya tulis ibu yang dijadikan refrensi mahasiwa tingkat akhir
jurusan syariah di Pondok. Namun, sebab peristiwa kebakaran yang menghanguskan
banyak buku-buku di perpustakaan, akibatnya banyak pula karya tulis ibu yang
teralalap api.
Kini hatinya terguncang setelah
kakak pertamanya, Faisal menikah, dan tinggal bersama istrinya. Hanya sesekali
menyambangi adik-adiknya dan nenek. Sebulan selanjutnya, kakak kedua, Aldi pun
turut pergi meninggalkan rumah ikut dengan saudara dari ibu, ia tinggal dan
menetap di sana. Kini, tinggal Dewi, Aldo dan nenek.
“Aku masih terlalu dini untuk kalian tinggalkan.
Aku masih sangat membutuhkn kasih sayang kalian. Tapi kenapa semuanya pergi?!
Ka Aldo pun jarang di rumah, kadang pulang itupun hanya numpang ganti pakain
saja. Semuanya bedebah!” Air matanya mengucur deras, memaki-maki dalam hati, ia
marah, ia marah pada semua orang, ia marah pada keadaan, ia marah pada dirinya
sendiri.
***
Di depan rumah Anggi, sepupunya,
yang lahir dari rahim bu Lisa, adik ibunya Dewi. Ia menyaksikan kebahagian saat
ke-enam anak-anak bu Lisa sedang berkumpul, senda gurau. Sesaat melihat
kebahagiaan itu, Dewi melangkah cepat masuk ke rumahnya, sebidang kaca cukup lebar
ia hantam dengan tangannya dan berdarah. “Tuhan tidak Adil” Ucapnya lirih
dengan nada marah.
Dewi yang sudah menginjak masa
remaja, 18 tahun kini usianya. Selalu membandingkan-bandingkan dirinya dengan
sepupunya, Anggi yang lebih tua 2 tahun darinya. “Kamu lebih beruntung Nggi,
keluargamu utuh. Ibumu masih hidup, bapakmu pun masih tinggal serumah denganmu.
Sedangkan aku, ibuku mati gara-gara melahirkanku, bapakku pergi ketika aku
masih 3 bulan. Lalu apa lagi yang kau risaukan Nggi?”. Ucap Dewi menggerutu
dalam hati. “Walaupun aku tau betul silsilah keluargamu, tapi setidaknya kamu
menikmati kebahagiaan itu”
Lamunan Dewi terputus oleh suara
seseorang yang menegetuk pintu kamarnya. Dilihatnya Nenek yang seluruh
rambutnya memutih, keriput wajahnya semakin tua. Matanya mulai sayu. Nampak
jelas tubuhnya renta. “Sini, nenek ceritakan” Sambil menarik lenganku dan duduk
di bale bambu peninggalan ibu.
“Kamu itu cucu nenek yang sangat
beruntung. Kamu perempuan pilihan Tuhan. Kamu perempuan yang paling bahagia di
dunia dan akherat nanti” Sesekali nenek menyeka air matanya. “Coba kau bandingkan
dengan saudara-saudaramu, dengan sepupu-sepumu, dengan teman-temanmu. Mereka
hanya mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya dan saudara-saudaranya. Mereka
hanya bahagia di dunia saja Wi” Ujar Nenek menenangkan hatiku. “Kau lihat
kakakmu Faisal, sakit-sakitan terus, sudah jarang dia menjenguk kita. Kakamu
Aldi, turut pula merwat Budemu yang sedang di rawat. Aldo, entah kemana ia
pergi. Kadang pulang ke rumah, kadang tidak.” Ungkap nenek menjelaskan.
“Kau Dewi, kau perempuan yang di
asuh langsung oleh Tuhan. Kau, perempuan yang mendapatkan kasih sayang langsung
dari Tuhan. Kau, perempuan paling
beruntung dari semuanya. Nenek hanya perantara saja mengasuhmu Wi. Di balik
semua ini, adalah kasih sayang Tuhan, Rahmat Tuhan. Jangan pernah kau
menyalahkan dirimu atas kematian ibumu karena melahirkanmu. Janganlah iri
dengan kehidupan orang lain cucuku, kebahagian di dunia hanyalah sementara, tak
ada yang abadi” Tambahnya.
***
“Apa lagi yang ingin kamu ketahui tentang
dirimu, Wi?” Tiba-tiba seorang lelaki tanggung melemparkan tanya padanya saat
Dewi sedang melamun di warung kopi bu Inah. Matanya memburu sumber suara itu.
Siapa? Pikirnya mengawang, hatinya penasaran, sibuk kepalanya tengak-tengok ke
kiri-ke kanan-ke belakang.
“Ini ada surat untukmu” Lelaki itu bergegas
pergi setelah menyodorkan surat.
Aku
pergi bukan karena tidak sayang kalian, anak-anakku
Aku
rindu, aku kangen kalian.
Nenek,
Faisal, Aldi, Aldo dan kau Dewi, gadis permata hatiku
Yakinlah,
bahwa aku setia menunggu kalian di pintu Firdaus
Dengan
menulis bait-bait rindu ini untukmu
Aku
tulis sajak ini, hanya untuk memberitahumu bahwa kalian lebih indah dari apapun
Aku tulis sajak ini, hanya untuk membuatku ada
dalam pikiranmu
Aku
mencintaimu
“dariku
yang melahirkanmu”
Jakarta, 19 Januari 2016
No comments