.post-body img { width:500px! important; height:auto! important;}

Page Nav

HIDE

Grid

GRID_STYLE

Classic Header

{fbt_classic_header}

Header Ad

//

Breaking News

latest

CERPEN KITA PEMBERANTAS KORUPSI KARYA ANIL SAFRIANZA

Suap dan korupsi seperti darah dan daging di negri ini, saat daging terbuka maka darah akan deras keluar. Seperti itu para pemain nafsu d...

CERPEN KITA PEMBERANTAS KORUPSI KARYA ANIL SAFRIANZA
Suap dan korupsi seperti darah dan daging di negri ini, saat daging terbuka maka darah akan deras keluar. Seperti itu para pemain nafsu dalam bekerja, sedikit saja kesempatan maka seketika ia akan bermain mempertaruhkan nasib orang lain. Korupsi tumbuh seiring dengan pertumbuhan usia, pertambahan usia mengakibatkan perkembangan pola pikir dan jalan pikiran. Hal inilah yang menjadilan pribadi seseorang, hanya kesadaran dan rasa syukur yang mampu menghindari dari prilaku tercela ini.

Aku berjalan mengitari kota Subang, daerah yang ditinggal bupatinya karena kasus korupsi yang menjeratnya. Namaku Rio, setahun sudah aku mencari rezki disini, di kota kecil yang sebagian jalannya berada dalam kondisi tidak layak, begitu banyak lobang yang aku temui sepanjang jalan. "Begitu tegakah dia melakukan itu?" tanyaku dalam hati. "Sehingga kepentingan rakyat yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya malah ditelantarkan begitu saja." Terlalu asik bermain dengan imajinasiku tak terasa aku tiba di warung tempat aku bekerja.

Aku memliki seorang kekasih di kota ini, dia adalah Shinta, seorang gadis yang aku temui saat aku mengunjungi taman Ranggawulung bersama seorang teman diawal kedatanganku. Kebetulan ayah Shinta juga bekerja di rumah makan padang, akan tetapi dia adalah orang kepercayaan sang pemilik rumah makan untuk mengambil uang setoran disetiap rumah makan miliknya yang memiliki beberapa cabang di kota ini. Ayah Shinta berteman baik dengannya, mereka berteman bahkan dari keduanya masih bujangan hingha sekarang ayah Shinta bekerja untuknya.

Karena kegemaranku menulis aku mendapat tawaran dari media 'Peduli Rakyat' yang merupakan sebuah media masa di kota Subang. Media ini memiliki slogan 'Berantas korupsi', sangat menarik dan juga mulia rasanya ikut berkontribusi dalam upaya membuka kedok para pemuas nafsu tanpa syukur pemakan uang rakyat di kota ini.

Akhirnya aku mengikuti program itu sambil belajar dan memetik pengalaman lebih dalam dunia jurnalistik. Aku memberitahu Shinta akan keputusan ini, dia mendukung keputusanku itu. Dia adalah seorang wanita yang bagiku luar biasa, wanita yang tau akan agamanya. Kenyamanan itulah yang aku dapat darinya, kesederhanaan dan wibawamya membuatku kagum akan pendiriannya. Bagiku; "saat aku merasakan kenyamanan dengan seseorang, berarti aku telah jatuh cinta." Rasa nyaman yang sangat jarang aku dapatkan.

Sebulan sudah aku berkumpul bersama seniorku dimedia Perak ini, sedikit banyaknya sudah tertanam dalam diriku apa tujuan berantas korupsi ini. Dari beranjak dewasapun aku sudah tidak ingin tindakan seperti korupsi itu terjadi, bagaimana murahnya kemerdekaan kita saat itu dijual oleh para penghianat negri ini membantu para bajingan itu berkuasa di negri ini.

Aku sering bercerita tentang pengalaman yang aku dapatkan disini kepada Shinta, hingga seketika aku diberitahi Shinta bahwa ayahnya melarang untuk tetap berhubungan denganku. Aku sangat heran dengan apa yang aku dengar saat ini, apa yang menjadikan alasan ayahnya tiba-tiba melarang hubungan kami. Tidak seperti biasanya yang mendukung setiap kali perencanaan yang aku buat bersama Shinta yang disertai izin darinya.

Seminggu sudah hubunganku dengan Shinta tak tau arah, tiba-tiba Shinta memberi kabar kalau ayahnya sering memotong uang setoran dari rumah makan yang akan disetor kepada sang pemilik. Ahirnya aku memberanikan diri untuk menemui ayahnya ke rumahnya, dengan perjuangan cinta supaya tidak kandas dan juga ingin membenarkan yang benar aku menuju rumah Shinta.

"Assalamualaikum" sahutku setiba di rumahnya.

"Waalaikumsalam, eh Rio. Kemana aja Rio?" tanya ibu Shinta padaku.

"Ohh ... Ada bu, bapak ada bu? Boleh bicara sebentat dengan beliau?

"Iya ada, sebentar ibu panggil dulu."

Sekira menunggu beberapa menit ayah Shinta menghampiriku, sengaja aku kesini saat Shinta berada diluar supaya tidak ada kecurigaan dalam benak ayahnya.

"Ada apa lagi kamu kesini?" tanya ayahnya padaku.

"Tidak apa-apa, Om. Tapi kenapa tiba-tiba Om larang hubungan kami ya, Om?"

"Gaji kamu berapa? Bagaimana kamu mampu menghidupinya nanti, sedangkan kalian sudah sama dewasa."

"Rezki itukan sudah diatur, Om. Yang terpenting apa yang saya dapat hasil dari keringat saya Om, dan saya lebih bangga dengan semua itu. Saya dengar Om juga memotong setoran rumah makan, maaf Om tapi saya hanya ingin memberitahu Om.

"Lancang sekali kamu, beraninya nuduh orang sembarangan."

Karena suara yang begitu keras, ibu Shinta menghampiri kami. Mungkin ia juga penasaran dengan apa yang kami bicarakan, karena tidak biasanya aku bicara hanya berdua dengan ayah Shinta.

"Apa benar yang dikatakan Rio, Yah? Tanya ibu.

"Memang benar, dengam kaji yang tidak seberapa mau ayah kasih makan apa kamu sama anak-anak, Bu?"

"Apa bapak tidak kasian memberi kami uang hasil seperti itu, Yah? Dari hasil yang tidak halal? Dengan itu selama ini kita membesarkan anak-anak kita?"


Ibu menangis sedih karena peryataan ayahnya Shinta, mungkin tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ayah Shinta pun hanya terdiam memandangi sang istri, mungkin rasa bersalah sudah mulai hinggap di benaknya. 

No comments