Suap dan korupsi seperti darah dan daging di negri ini, saat daging terbuka maka darah akan deras keluar. Seperti itu para pemain nafsu d...
Suap dan korupsi seperti darah dan daging
di negri ini, saat daging terbuka maka darah akan deras keluar. Seperti itu para
pemain nafsu dalam bekerja, sedikit saja kesempatan maka seketika ia akan
bermain mempertaruhkan nasib orang lain. Korupsi tumbuh seiring dengan pertumbuhan
usia, pertambahan usia mengakibatkan perkembangan pola pikir dan jalan pikiran.
Hal inilah yang menjadilan pribadi seseorang, hanya kesadaran dan rasa syukur
yang mampu menghindari dari prilaku tercela ini.
Aku berjalan mengitari kota Subang, daerah
yang ditinggal bupatinya karena kasus korupsi yang menjeratnya. Namaku Rio, setahun
sudah aku mencari rezki disini, di kota kecil yang sebagian jalannya berada
dalam kondisi tidak layak, begitu banyak lobang yang aku temui sepanjang jalan.
"Begitu tegakah dia melakukan itu?" tanyaku dalam hati. "Sehingga
kepentingan rakyat yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya malah ditelantarkan
begitu saja." Terlalu asik bermain dengan imajinasiku tak terasa aku tiba
di warung tempat aku bekerja.
Aku memliki seorang kekasih di kota ini,
dia adalah Shinta, seorang gadis yang aku temui saat aku mengunjungi taman
Ranggawulung bersama seorang teman diawal kedatanganku. Kebetulan ayah Shinta
juga bekerja di rumah makan padang, akan tetapi dia adalah orang kepercayaan
sang pemilik rumah makan untuk mengambil uang setoran disetiap rumah makan
miliknya yang memiliki beberapa cabang di kota ini. Ayah Shinta berteman baik
dengannya, mereka berteman bahkan dari keduanya masih bujangan hingha sekarang
ayah Shinta bekerja untuknya.
Karena kegemaranku menulis aku mendapat
tawaran dari media 'Peduli Rakyat' yang merupakan sebuah media masa di kota
Subang. Media ini memiliki slogan 'Berantas korupsi', sangat menarik dan juga
mulia rasanya ikut berkontribusi dalam upaya membuka kedok para pemuas nafsu
tanpa syukur pemakan uang rakyat di kota ini.
Akhirnya aku mengikuti program itu sambil
belajar dan memetik pengalaman lebih dalam dunia jurnalistik. Aku memberitahu Shinta
akan keputusan ini, dia mendukung keputusanku itu. Dia adalah seorang wanita
yang bagiku luar biasa, wanita yang tau akan agamanya. Kenyamanan itulah yang
aku dapat darinya, kesederhanaan dan wibawamya membuatku kagum akan
pendiriannya. Bagiku; "saat aku merasakan kenyamanan dengan seseorang,
berarti aku telah jatuh cinta." Rasa nyaman yang sangat jarang aku
dapatkan.
Sebulan sudah aku berkumpul bersama seniorku
dimedia Perak ini, sedikit banyaknya sudah tertanam dalam diriku apa tujuan berantas
korupsi ini. Dari beranjak dewasapun aku sudah tidak ingin tindakan seperti
korupsi itu terjadi, bagaimana murahnya kemerdekaan kita saat itu dijual oleh
para penghianat negri ini membantu para bajingan itu berkuasa di negri ini.
Aku sering bercerita tentang pengalaman yang
aku dapatkan disini kepada Shinta, hingga seketika aku diberitahi Shinta bahwa
ayahnya melarang untuk tetap berhubungan denganku. Aku sangat heran dengan apa
yang aku dengar saat ini, apa yang menjadikan alasan ayahnya tiba-tiba melarang
hubungan kami. Tidak seperti biasanya yang mendukung setiap kali perencanaan
yang aku buat bersama Shinta yang disertai izin darinya.
Seminggu sudah hubunganku dengan Shinta tak
tau arah, tiba-tiba Shinta memberi kabar kalau ayahnya sering memotong uang
setoran dari rumah makan yang akan disetor kepada sang pemilik. Ahirnya aku
memberanikan diri untuk menemui ayahnya ke rumahnya, dengan perjuangan cinta
supaya tidak kandas dan juga ingin membenarkan yang benar aku menuju rumah
Shinta.
"Assalamualaikum" sahutku setiba
di rumahnya.
"Waalaikumsalam, eh Rio. Kemana aja
Rio?" tanya ibu Shinta padaku.
"Ohh ... Ada bu, bapak ada bu? Boleh
bicara sebentat dengan beliau?
"Iya ada, sebentar ibu panggil
dulu."
Sekira menunggu beberapa menit ayah Shinta
menghampiriku, sengaja aku kesini saat Shinta berada diluar supaya tidak ada kecurigaan
dalam benak ayahnya.
"Ada apa lagi kamu kesini?" tanya
ayahnya padaku.
"Tidak apa-apa, Om. Tapi kenapa
tiba-tiba Om larang hubungan kami ya, Om?"
"Gaji kamu berapa? Bagaimana kamu
mampu menghidupinya nanti, sedangkan kalian sudah sama dewasa."
"Rezki itukan sudah diatur, Om. Yang
terpenting apa yang saya dapat hasil dari keringat saya Om, dan saya lebih
bangga dengan semua itu. Saya dengar Om juga memotong setoran rumah makan, maaf
Om tapi saya hanya ingin memberitahu Om.
"Lancang sekali kamu, beraninya nuduh
orang sembarangan."
Karena suara yang begitu keras, ibu Shinta
menghampiri kami. Mungkin ia juga penasaran dengan apa yang kami bicarakan,
karena tidak biasanya aku bicara hanya berdua dengan ayah Shinta.
"Apa benar yang dikatakan Rio, Yah?
Tanya ibu.
"Memang benar, dengam kaji yang tidak
seberapa mau ayah kasih makan apa kamu sama anak-anak, Bu?"
"Apa bapak tidak kasian memberi kami
uang hasil seperti itu, Yah? Dari hasil yang tidak halal? Dengan itu selama ini
kita membesarkan anak-anak kita?"
Ibu menangis sedih karena peryataan ayahnya
Shinta, mungkin tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ayah Shinta pun
hanya terdiam memandangi sang istri, mungkin rasa bersalah sudah mulai hinggap
di benaknya.
No comments