Cantik, pintar, baik. Kalau aku bilang sih itu paket komplit. Namanya Aprilia...
Cantik, pintar, baik. Kalau aku bilang sih
itu paket komplit. Namanya Aprilia Hilmy, dia teman pertamaku saat aku baru
pindah kekota hujan ini. Saat itu aku kelas 2 SMA dan aku satu kelas dengannya.
Sejak awal aku merasa nyaman berteman dengannya. Aku sendiri Tika Natasya, aku
meninggalkan kotaku karena pekerjaan ayah mengharuskan kami berpindah dari satu
kota ke kota lain. Aku melihat April seperti malaikat.
2 tahun berteman dengannya, tak pernah sekalipun aku melihatnya marah, bahkan aku sendiri penasaran ingin melihat bagaimana penampilannya saat dia marah. Namun aku selalu gagal membuatnya marah, dia selalu tersenyum. Senyuman yang meneduhkan hati, tatapan matanya selalu bercahaya. Setiap kata yang dia ucapkan tak pernah sekalipun mengandung kata yang menyakiti orang lain. Bukan hanya cantik parasnya saja, hatinyapun tak kalah cantik. Dan kepalanya dipenuhi dengan pemikiran-pemikiran positif yang sangat menakjubkan, pemikiran yang mungkin tak dimiliki orang lain. "Kau tau, kita harus selalu berpikir positif terhadap semua hal agar kau tak menyakiti hatimu sendiri" itu kata katanya yg selalu ku ingat.
2 tahun berteman dengannya, tak pernah sekalipun aku melihatnya marah, bahkan aku sendiri penasaran ingin melihat bagaimana penampilannya saat dia marah. Namun aku selalu gagal membuatnya marah, dia selalu tersenyum. Senyuman yang meneduhkan hati, tatapan matanya selalu bercahaya. Setiap kata yang dia ucapkan tak pernah sekalipun mengandung kata yang menyakiti orang lain. Bukan hanya cantik parasnya saja, hatinyapun tak kalah cantik. Dan kepalanya dipenuhi dengan pemikiran-pemikiran positif yang sangat menakjubkan, pemikiran yang mungkin tak dimiliki orang lain. "Kau tau, kita harus selalu berpikir positif terhadap semua hal agar kau tak menyakiti hatimu sendiri" itu kata katanya yg selalu ku ingat.
"Tapi bagaimana bisa aku berpikir
positif jika kenyataan yang sesungguhnya bertolak belakang dengan apa yang aku
pikirkan. Bukankah itu akan membuat hati ini semakin sakit?!" jawabku.
"Ya kau memang benar. Namun jika kau
selalu saja meracuni pikiranmu dengan prasangka-prasangka yang belum tentu
terjadi, kau akan menderita jauh lebih lama dan luka itu akan tambah parah saat
kau dapati bahwa prasangka burukmu itu memang benar-benar nyata. Jika kau bisa
berpikir positif, luka dihatimu tak akan separah itu setidaknya kau hanya akan
terluka jika pikiran positifmu itu salah dan lukamu dapat disembuhkan dalam
waktu yang singkat." Aku mengernyitkan dahiku.
"Kata katamu terlalu sulit untuk ku
cerna. Tapi aku akan mencoba berpikir positif seperti apa yang kau lakukan
selama ini." Dia tersenyum dan merangkulku.
"Hmmm baiklah, hari ini kau pulang bersamaku
atau kevin?" Kevin adalah kekasihnya dan merupakan kakak kelas kami. Dia
bilang sudah 3 tahun mereka menjalin hubungan dan kevin adalah cinta
pertamanya. Hah cinta pertama?! Aku sangat tidak percaya dengan itu.
"Aku pulang sama kamu, soalnya kevin
bilang dia ada urusan sama temannya." Aku tak melihat guratan kecewa
dimatanya, dia sepertinya percaya sepenuhnya pada kevin. Aku bahkan tak pernah mau
mempercayai pria.
"Hmm pril, kamu percaya banget ya sama
kevin?" April menatapku sejenak kemudian dia tersenyum.
"Ada apa? Kenapa tiba-tiba menanyakan
hal itu? Ya jelas sajalah aku percaya padanya. Dia adalah kekasihku." Aku
menghela nafas panjang.
"Maksudku, apa kamu tidak pernah berpikir
bahwa kevin bisa saja mengkhianatimu." Hening. April tak langsung menjawabnya.
Untuk beberapa detik, kami hanyut dalam pikiran masing-masing.
"Bukankah tadi aku sudah mengatakan
padamu, bahwa kita harus berpikir positif. Aku percaya padanya karena selama
ini aku merasa dia tak pernah berbohong padaku." April memegang tanganku.
"Apa kau memiliki cerita masa lalu yang membuatmu tak lagi mempercayai
pria?" Aku tersenyum kecut.
"Aku bahkan belum pernah membuka
hatiku untuk seorang pria!" April tertawa.
"Yang benar saja?! Aku pikir kau lebih
berpengalaman tentang cinta dibanding aku." Kenapa dia tertawa? Ku rasa
tak ada yang lucu. April berhenti tertawa setelah melihat mimik wajahku
berubah. "Maaf. Aku tak bermaksud meledekmu. Tapi setahuku seseorang akan
sulit mempercayai sesuatu atau seseorang setelah dia merasa kecewa pada hal tersebut.
Tapi kau, bahkan kau belum pernah membuka hatimu pada seseorang. Lalu bagaimana
bisa kau bersikap seperti kau pernah dikecewakan oleh seseorang?!" Aku tak
menjawabnya. Aku terus menatap jalanan yang penuh sesak oleh lautan manusia
yang sampai kapanpun tak bisa saling mengerti. Aku tak berminat membicarakan
itu lebih jauh. Tak ada sedikit katapun keluar dariku dan dari April. Kami
sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga tanpa terasa taxi yang kami tumpangi
telah sampai di depan rumahku. Aku turun tanpa pamit kemudian taxi kembali
melaju untuk mengantarkan April. Aku berpikir apakah aku keterlaluan padanya?
Mungkin saja dia tersinggung dengan sikapku dan pertanyaanku tadi. Ntahlah aku
seperti seseorang yang sedang patah hati. Aku bahkan tak mengerti dengan
perasaanku sendiri. Saat melihat April bersama kevin, saat melihat sikap kevin
pada April, melihat caranya menatap. Aku merasa ada kebohongan pada pria itu. Iri?
Jika mereka bilang aku iri, mereka salah besar. Aku bahkan tak berminat untuk membahas
persoalan cinta. Aku hanya takut April mengalami hal yang sama seperti
"DIA".
Pagi itu aku menunggu April dikelas. Ku
pikir, aku memang harus meminta maaf padanya.
"Aku minta maaf untuk yang kemarin.
Aku sudah sangat keterlaluan menuduh kevin didepanmu. Aku tidak bermaksud membuat
hubungan kalian tidak enak, hanya saja aku takut kau dikecewakan oleh dia"
aku membuka percakapan tanpa menatap lawan bicaraku. Tak ada jawaban, ku rasa
kali ini aku berhasil membuatnya marah. Aku menoleh kearahnya berharap dapat
melihat bagaimana wajahnya saat dia marah. Tapi yang ku dapati adalah sebuah
senyuman. Senyuman yang sama seperti sebelumnya, senyuman yang menenangkan,
senyuman yang sama sekali tak dibuat buat. Tak ku lihat kekesalan di wajahnya,
bahkan matanya masih memancarkan cahaya seperti biasa.
"Tak perlu minta maaf. Aku mengerti
tentang ketakutanmu. Bahkan aku sangat bahagia kau begitu perhatian padaku.
Tapi percayalah kevin adalah pria baik, dia tidak mungkin melukaiku." Aku
mengangguk dan tersenyum simpul. Tak ada percakapan untuk beberapa menit sampai
tiba tiba April menggenggam tanganku hangat.
"Apa ada yang kau sembunyikan
dariku?" Aku tak mengerti dengan pertanyaannya. Bagaimana bisa dia
berpikir seperti itu. Tak ada jawaban
dariku karena akupun tak tahu harus menjawab apa. "Apa ada sesuatu dari
masa lalumu yang membuatmu seperti sekarang ini? Aku mengenalmu baru beberapa
bulan, aku tak begitu mengetahui semua tentangmu. Tapi melihat sikapmu yang
dingin seperti ini, seperti ada sesuatu dari dirimu yang belum atau memang
sengaja kau sembunyikan dari orang lain." Aku memeluknya. Aku benar-benar
ingin sekali menumpahkan semuanya hari ini. Aku sudah cukup lelah memendamnya
sendiri.
"Aku hanya takut ada orang lain yang
mengalaminya. Aku tak bermaksud menghasutmu atau merusak hubungan kalian. Aku
benar-benar takut kau mengalami seperti yang dia alami." Kali ini aku tak
mampu lagi membendung tangusku. Pertahananku akhirnya jebol. April mengusap air
mataku.
"Aku tak mengerti dengan ucapanmu. DIA?
dia siapa yang kau maksud?" Aku menatap April.
Dia adalah kakakku. Aku sangat
menyayanginya. Dia adalah ibu kedua bagiku, karena dia selalu ada saat aku
membutuhkan, membantuku walaupun terkadang dia sangat menyebalkan. Aku
beruntung memilikinya. Saat itu aku kelas 3 SMP dan dia kelas 3 SMA. Dia bilang,
dia sedang jatuh cinta pada teman sekolahnya. Aku hanya mendengarkan setiap
kali dia berbicara tentang cintanya pada pria itu tanpa mengerti apa
sesungguhnya arti dari cinta itu sendiri. Yang aku tahu, aku sangat bahagia
saat melihat wajahnya yang selalu bersemu saat menceritakan pria nya itu.
Hingga pada akhirnya, dia seperti bukan dirinya. Dia tak lagi menceritakan pria
itu, dia sudah jarang berbicara denganku. Aku kehilangan sosok kakak yang dulu
ada padanya. Aku merindukan hal itu, aku berpikir apakah semua ini karena pria
yang setiap hari dibicarakannya itu?! Pucaknya saat malam dimana hal itu
terjadi. Aku terbangun dari mimpiku karena keributan yang entah dari mana. Aku
melangkah mengikuti suara itu berasal. Aku melihat kakak memegangi kaki ayah, dan
ibu tak henti hentinya menangis. Aku tak mengerti dengan apa yang ku lihat.
Ayah terus saja memaki kakak dengan kata-kata yang seharusnya tak diucapkan.
Aku menghampiri ibu, ibu memelukku erat. Begitu banyak tanda tanya yang menari dipikiranku. Ada apa? Kenakalan seperti apa yang kakak lakukan hingga ayah begitu marahnya? Setahuku kakak tak pernah membuat kesalahan yang membuat ayah marah. Ayah berlalu dengan amarah yang masih membara. Aku menghampiri kakak meminta penjelasan namun yang ku dapat hanya makian. Untuk pertama kalinya dia memarahi ku, bahkan aku tak tahu apa salahku. Aku hanya ingin tahu masalah apa yang sedang dia hadapi, aku ingin membantunya. Dia meninggalkan ku yang masih bertanya tanya. Aku menatap ibu meminta jawaban, namun sama saja. Semua meninggalkanku tanpa memberi jawaban. Aku bahkan tak bisa tidur. Tangisan pilu kakak masih terdengar ditelingaku, pertanyaan KENAPA masih saja menari-nari dipikiranku.
Aku menghampiri ibu, ibu memelukku erat. Begitu banyak tanda tanya yang menari dipikiranku. Ada apa? Kenakalan seperti apa yang kakak lakukan hingga ayah begitu marahnya? Setahuku kakak tak pernah membuat kesalahan yang membuat ayah marah. Ayah berlalu dengan amarah yang masih membara. Aku menghampiri kakak meminta penjelasan namun yang ku dapat hanya makian. Untuk pertama kalinya dia memarahi ku, bahkan aku tak tahu apa salahku. Aku hanya ingin tahu masalah apa yang sedang dia hadapi, aku ingin membantunya. Dia meninggalkan ku yang masih bertanya tanya. Aku menatap ibu meminta jawaban, namun sama saja. Semua meninggalkanku tanpa memberi jawaban. Aku bahkan tak bisa tidur. Tangisan pilu kakak masih terdengar ditelingaku, pertanyaan KENAPA masih saja menari-nari dipikiranku.
Pagi itu kami sarapan tanpa kakak, aku
mencemaskannya. Aku berniat membawakan makanan untuknya namun ayah melarangku. Kesalahan
macam apa yang dilakukan kakak sehingga ayah semurka ini?
Seminggu berlalu dan kakak masih tak keluar
dari kamarnya. Tidak untuk makan, tidak untuk sekolah dan bahkan tidak untuk
bertemu siapapun. Ibu sering mencuri-curi kesempatan untuk memberi makanan karena
ayah sama sekali tak mengizinkan kami memberikan apapun pada kakak. Aku masuk kedalam
kamar kakak, ku lihat dia sedang tertidur pulas. Tak ku lihat wajah cantiknya
dulu, wajah yg selalu bersinar. Sunyuman yang dulu selalu menghiasi wajahnya
pun tak ada lagi. Air mata yang mengering dipipi, wajah yang begitu pucat dan
guratan kesedihan menghiasi wajah itu. Ini seperti bukan wajah kakakku, aku
sangat tak percaya. Aku mengelus rambutnya yang sudah lusuh karena telah lebih
seminggu tak tersentuh air. Aku menggenggam tangannya namun aku tersentak saat
merasakan tangan itu begitu dingin.
Tak ada gerakan nadi pada pergelangan tangannya bahkan tak ada hembusan nafas pada hidungnya. Aku mencoba membangunkannya namun dia tak bergeming. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku berteriak memanggil ibu. Ibu pun tampak panik, kemudian memanggil dokter. "Dia telah tiada sejak satu jam yang lalu. Dan janinnyapun tak mampu bertahan." Ucapan dokter seperti sambaran petir yang tepat mengenai jantungku. Kakiku lemah, pandangan ku kabur akibat airmata yang mulai menggenang. Aku seperti kehilangan tenaga untuk sekedar berdiri. Ibupun tak kuasa menahan tangisnya. Ayah datang dan tak mampu membendung airmatanya. Ayah begitu merasa bersalah. Tunggu! Apa yang dikatakan dokter tadi? Janin? Janin apa maksudnya? Aku meminta penjelasan pada dokter tentang janin yang dia maksud. "Kakak anda sedang mengandung 2 bulan." Dan semua pertanyaanku selama ini terjawab dalam sebuah kalimat singkat yang dilontarkan sang dokter. Aku mengerti mengapa ayah begitu marah, dan perubahan kakak akhir-akhir ini. Apa mungkin pria itu pelakunya? Jika memang benar kenapa dia tak mau bertanggung jawab. Aku tak bisa terima perbuatan pria itu. Aku ingin sekali menemuinya namun ayah bilang, dia tak lagi tinggal dikota ini. Aku begitu marah saat mendengar bahwa pria itu lari dari tanggungjawab nya. Aku begitu marah saat takdir mempermainkan orang yang sangat ku sayang.
Tak ada gerakan nadi pada pergelangan tangannya bahkan tak ada hembusan nafas pada hidungnya. Aku mencoba membangunkannya namun dia tak bergeming. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku berteriak memanggil ibu. Ibu pun tampak panik, kemudian memanggil dokter. "Dia telah tiada sejak satu jam yang lalu. Dan janinnyapun tak mampu bertahan." Ucapan dokter seperti sambaran petir yang tepat mengenai jantungku. Kakiku lemah, pandangan ku kabur akibat airmata yang mulai menggenang. Aku seperti kehilangan tenaga untuk sekedar berdiri. Ibupun tak kuasa menahan tangisnya. Ayah datang dan tak mampu membendung airmatanya. Ayah begitu merasa bersalah. Tunggu! Apa yang dikatakan dokter tadi? Janin? Janin apa maksudnya? Aku meminta penjelasan pada dokter tentang janin yang dia maksud. "Kakak anda sedang mengandung 2 bulan." Dan semua pertanyaanku selama ini terjawab dalam sebuah kalimat singkat yang dilontarkan sang dokter. Aku mengerti mengapa ayah begitu marah, dan perubahan kakak akhir-akhir ini. Apa mungkin pria itu pelakunya? Jika memang benar kenapa dia tak mau bertanggung jawab. Aku tak bisa terima perbuatan pria itu. Aku ingin sekali menemuinya namun ayah bilang, dia tak lagi tinggal dikota ini. Aku begitu marah saat mendengar bahwa pria itu lari dari tanggungjawab nya. Aku begitu marah saat takdir mempermainkan orang yang sangat ku sayang.
"Sejak saat itu aku berusaha untuk
tidak mempercayai semua ucapan lelaki. Aku tak ingin mengalami hal yang sama
dengan kakakku. Dan saat aku melihat mu dengan kevin, aku takut kau mengalami
hal itu. Aku tak mau kehilangan orang yang ku sayangi dengan cara yang
sama!" Aku tak kuasa menahan air mataku saat menceritakan semuanya pada
April dan Aprilpun ikut merasakan kesedihan yang ku rasakan. Dia memelukku
erat.
"Aku janji padamu, aku akan baik baik
saja. Kevin tak mungkin melakukan hal serendah itu! Percayalah!" Aku
menatap April dan kembali memeluknya. Semoga saja takdir tak mempermainkan orang
yang sangat baik sepertimu sahabatku.
"April, aku hari ini dijemput ayah.
Kau mau ikut bersamaku atau diantar kevin?"
"Kau duluan saja, aku sudah janji
pulang bersama kevin."
"Baiklah, kalau begitu aku duluan.
Tapi benar tak apa kau ku tinggal?" April mengangguk. Aku sedikit ragu
melangkahkan kakiku.
Ayah ternyata sudah menungguku di gerbang
sekolah. Aku memasuki mobil yang kemudian melaju dengan kecepatan sedang. Aku tak
bisa mengalihkan pandanganku pada jalanan yang begitu sesak. Pandanganku tiba
tiba beralih pada sepasang anak muda yang memakai seragam putih abu abu. Itu
kevin, dan yang dibelakangnya pasti April. Aku tersenyum simpul, baguslah jika
kevin benar-benar menepati janjinya pada April. Mungkin April benar, aku memang
harus berpikir positif untuk semua hal yang belum tentu kebenarannya.
***
"Pagi Tika" aku yang sedang membaca
buku tersentak saat April menyapaku.
"Ehh.. Pagi juga April." April
tersenyum dan langsung duduk di sampingku.
"Bagaimana kencanmu kemarin? Pasti
sukses kan?" Aku menggoda April. April tertawa mendengar guyonanku.
"Kevin tidak jadi mengantarku pulang.
Dia bilang dia mengantar wali kelasnya karena mobil wali kelasnya itu tiba-tiba
mogok." Aku kaget mendengar jawaban April.
"Lalu kau pulang dengan siapa?"
"Aku pulang sama taxi kok, tenang
aja." April tetap tersenyum seperti biasa. Ada pertanyaan besar
dikepalaku. Jika kevin tidak mengantar April lalu siapa yang kemarin ku lihat?
Wali kelas? Sejak kapan wali kelas memakai seragam putih abu abu?! Apa mungkin
ketakutan ku selama ini benar-benar nyata? Tapi aku tak mungkin memberitahu
April yang sebenarnya. Aku memilih bungkam sampai aku tahu kebenarannya.
***
Beberapa hari ini, tanpa sepengetahuan
April, aku mengikuti kevin. Aku ingin tahu apa saja yang dia lakukan di
belakang April. Namun sejauh ini dia masih bertingkah wajar. Apa aku yang salah
sangka, apa mungkin yang ku lihat dulu bukanlah kevin. Tapi aku benar-benar
yakin yang aku lihat memang kevin. Atau bisa saja itu temannya atau adik atau
tetangga atau apalah itu. Semua kemungkinan menari dipikiranku. Saat aku akan
melangkahkan kaki, aku melihat kevin berjalan dengan seorang wanita. Apa
mungkin itu wanita yang kemarin ku lihat? Sepertinya mereka akan pergi. Aku langsung
memanggil ojek dan kembali mengikuti mereka. Ternyata mereka pergi kesebuah
studio band, ya aku tahu kevin memang memiliki band dan sering tampil di cafe.
Tapi wanita itu, siapa dia? Kenapa mereka sedekat itu? Aku memberitahu April
dan menyuruhnya menyusulku ke studio. Aku tak ingin menyembunyikan ini lebih
lama lagi.
Akhirnya April datang. Aku segera menghampirinya
membawanya menemui kevin untuk mendapatkan penjelasan. Saat di dalam kami
mencari sosok kevin. Dan kami menemukannya, sedang bersama wanita itu. Mereka
terlihat begitu dekat. Ku lihat April dengan begitu tenang mendekati mereka.
Kevin tampak kaget dengan kedatangan April, tampak jelas ketakutan terpanjar
diwajahnya. Seperti maling yang tertangkap saat sedang merampok sebuah bank.
Namun tidak dengan April, dia begitu tenang seperti sedang tidak terjadi apa-apa.
Untuk beberapa detik semua hening. Tak ada yang memulai hingga akhirnya wanita
yang bersama kevin mengambil andil untuk bicara.
"Kalian siapa?" Tanya wanita itu
dengan sopan. Kevin mengalihkan pandangannya, dia tak mampu menatap April.
"Apa kau bisa menjelaskan
semuanya?" April menatap kevin dengan tatapan teduhnya. Aku tak mengerti,
bagaimana bisa april setenang ini jika wanita lain diposisinya, aku yakin tak
ada yang mampu meredam emosinya. Tak ada jawaban dari kevin, sedangkan wanita
itu semakin gelisah. Tatapan matanya seolah bertanya "ada apa?"
"Kenapa? Apa aku begitu buruk
dimatamu? Jika kau tak lagi menginginkanku, aku akan pergi. Tapi caramu yang
seperti ini jelas salah. Ku pikir setelah 3 tahun bersama, kau benar-benar
serius dengan hubungan kita. Baiklah aku tak akan menyalahkanmu, aku hanya minta
satu hal, tolong jangan ulangi ini pada wanita lain. Adikmu, wanita kan? Bahkan
kau terlahir dari rahim seorang wanita. Kau tak mau kan jika adik dan ibumu
mengalami semua ini?" April diam sejenak. Kevin tak menjawab, sejak tadi
dia masih setia pada kebungkamannya. Wanita itupun sepertinya telah mengetahui kebenaran
namun dia memilih diam.
"Dan untukmu mbak, terimakasih telah
memisahkan aku dari seseorang yang memang tidak layak untuk ku perjuangkan.
Semoga kau tak mengalami hal yang sama." April tersenyum, senyuman tulus
namun mengandung sindiran kemudian meninggalkan mereka yang masih terpaku. Aku
mengikutinya, ku pikir dia akan sangat murka. Namun tak ku lihat setetespun air
mata mengalir dipipi itu. Aku semakin tak mengerti dengan sosok wanita dihadapanku
ini.
"Terimakasih ka!" April
menggenggam tanganku.
"Apa kau tidak merasa sakit
hati?" Ucapku.
"Sakit hati? Untuk apa?" Aku
mengernyitkan dahiku. "Karena dia tak memilihku? Semua orang memilih yang
terbaik, Itu menandakan bahwa aku masih belum bisa menjadi yang terbaik. Dan itu
sebabnya kevin memilih wanita itu." Aku masih tak mengerti. Kurang baik
apa lagi coba wanita yang satu ini?! Bahkan dia tak menyalahkan siapapun.
Terbuat dari apa hatinya?
***
"Oh iya pril. Hari ini aku sama
keluarga mau ziarah kemakam kakak. Mungkin aku pulang hari minggu sore. Kamu
jangan kangen sama aku ya hehe" april tertawa mendengar kelakarku.
"Wahhh bagaimana ya, apa aku bisa
hidup tanpa ada kamu?!" Aprilpun membalas guyonanku dengan ekspresi sedih
yang dibuat-buat sehingga wajahnya tampak lucu. Kami tertawa dan melangkah
meninggalkan kelas yang sudah sepi.
Aku berangkat menuju kota dimana cerita
pahit itu tercipta. Bayangan tentang masa lalu itu terputar kembali di kepalaku
seperti sebuah film dokumenter.
Hari ini adalah peringatan 3 tahun kepergian
kakak. Kami tak dapat membendung air mataku di depan pusara kakak. Ayah masih
menyalahkan dirinya atas kepergian kakak. Tapi apa boleh buat, penyesalannya
tak bisa membawa kakak kembali
***
Pagi itu, aku begitu semangat berangkat
sekolah. Akan ku ceritakan perjalananku pada April. Namun hari itu April tak
masuk, ku pikir dia sakit. Aku mencoba menghubunginya namun tak ada jawaban. Mungkin
April memang sakit dan butuh istirahat. Aku kesepian sekali tak ada April, aku
memang tak memiliki teman kecuali april. Bukannya aku tak ingin berteman dengan
yang lain, tapi aku merasa tak membutuhkan banyak teman karena april bisa
menjadi teman sekaligus sahabat, motivator, bahkan aku menemukan sosok kakak
yang selama ini aku rindu ada pada dirinya.
Hari ini aku lelah sekali, tak seperti
biasanya. Semua orang menatapku dengan tatapan tak biasa, aku tak mengerti apa
maksud dari tatapan itu. Tatapan yang membiatku tidak nyaman. Atau mungkin
selama ini mereka memang menatapku seperti itu? Hanya saja aku tak menyadarinya
karena aku terlalu sibuk dengan April.
Hingga hari ke 5 pun April tak hadir. Aku
semakin khawatir, aku selalu menghubunginya untuk bertanya bagaimana keadaannya
namun dia benar-benar tak bisa dihubungi. Aku memutuskan untuk mendatangi
rumahnya. Namun yang ku dapati tak sama seperti yang ku pikirkan.
"Apa kau Tika temannya April?"
Seorang wanita paruh baya yang merupakan ibunya April menyuguhiku segelas air.
Aku hanya mengangguk. Wanita itu diam sesaat kemudian menyodorkan sebuah surat
padaku.
"Sebelum pergi, April menulis surat
ini untukmu nak." Aku tak mengerti dengan ucapan ibunya April. Aku menerima
surat itu dengan ragu ragu.
"Memangnya April pergi kemana bu? Apa
dia sedang liburan? Kapan dia akan kembali?" Tiba tiba tangis ibunya April
pecah. Aku semakin tak mengerti, ada apa?
"A..april su..sudah tiada nak. Dia tak
akan pernah kembali." Ibu menjelaskan dengan terbata-bata. Aku kembali
merasakan hal yang sama seperti dulu dokter mengatakan bahwa kakak sudah
meninggal. Tanganku gemetar, pandangan ku nanar. Seketika air mata itupun
mengalir deras seperi sebuah bendungan waduk yang jebol. Aku tak percaya.
"Sebuah tumor ganas telah bersarang di
Kepalanya sejak 2 tahun lalu. Karena semangatnya untuk hidup sangat tinggi, dia
mampu melawan rasa sakitnya meski pada akhirnya dia dikalahkan oleh rasa sakit
itu."
Aku menabur bunga dimakam April. Hembusan
angin telah menyatu dengan isakku. Semua seperti mimpi, dua orang yang aku
sayang telah pergi meninggalkanku. Kini aku mengerti maksud dari tatapan semua
orang disekolah itu. Mereka mungkin tak kuasa memberitahuku.
Dear
Tika
Maaf aku meninggalkanmu sendiri, aku
sangat ingin menemanimu lebih lama lagi. Tapi waktuku telah habis. Ku harap kau
tak membenciku, karena aku tak menceritakan semuanya sejak awal. Aku hanya takut
kau mencemaskan aku, aku tak ingin seseorang berteman denganku hanya karena
merasa kasihan padaku.
Kali ini kau tak perlu berpikir bahwa
takdir telah mempermainkanku. Kau harus selalu berpikir positif seperti yang ku
ajarkan dulu.
Oh ya. Kau jangan merindukanku ya! Hehe.
Nanti jika aku bertemu dengan kakakmu
akan ku sampaikan salam rindu darimu. Kami akan sama-sama memperhatikanmu dari
atas sana.
Tetaplah menjadi sahabat terbaik untuk
semua orang!
Dari sahabatmu
Aprilia
No comments