Beberapa tahun terakhir acapkali terdengar dan tertulis dalam media baik cetak, televisi maupun online kalimat-kalimat berita yang lebih ...
Beberapa tahun terakhir acapkali terdengar dan tertulis dalam media baik cetak, televisi maupun online kalimat-kalimat berita yang lebih menunjukkan opini atau interpretasi daripada fakta, dan cenderung tendensius sehingga menjadikan masyarakat mudah terjebak pada propaganda dan tersesat dalam manipulasi informasi.
Dengan keterbatasan ruang (kolom) dan waktu (durasi) banyak fakta harus tersisihkan, setidaknya berdasar “teori” piramida terbalik, sangat penting- penting-tidak penting. Fakta yang tersisih kemudian bertransformasi menjadi sebuah “kebohongan” yang dimaklumi dan cenderung termaafkan kecuali hal tersebut memanipulasi dan mendistorsi fakta serta memutarbalikkan kebenaran dan mengabaikan prinsip fairness doctrine (kode etik): asas praduga tak bersalah, keberimbangan, check and recheck dan pencampuradukan fakta dengan opini pribadi dalam sebuah informasi.
Melihat realitas saat ini, terjadi hal menarik sekaligus “aneh” dalam pengelolaan dan penyebaran informasi, media tidak lagi mengindahkan kode etik. Informasi yang mengalir hampir selalu sarat dengan muatan ideologis, cenderung dikelola untuk mengarahkan opini massa sehingga kemurnian informasi tidak lagi menjadi hal utama. Padahal salah satu kode etik jurnalistik adalah objektifitas, dengan kata lain seorang jurnalis dituntut untuk mampu mengelola informasi tanpa tendensi pribadi ataupun kepentingan golongan. Akhirnya terjadilah keabsurdan informasi, masyarakat menjadi bingung memilah kebenaran dan timbul keresahan. Ketidakjelasan informasi juga mengakibatkan konflik di masyarakat yang bisa saja mengacaukan tatanan sosial, padahal mestinya aktifitas jurnalistik menjadi pilar kekuatan Negara.
Jurnalistik adalah aktifitas yang menjadi fondasi kekuatan peradaban. Karenanya memberikan informasi yang sebenar-benarnya secara akurat mestinya menjadi keharusan bagi para jurnalis. Inilah yang mendasari kuatnya peradaban Islam. Kita dapat melihat bagaimana hadits serta sejarah diriwayatkan secara mutawatir hingga hari ini. Aktifitas ilmiah dalam mengkaji dan meriwayatkan hadits dan sejarah merupakan tradisi yang mengurat akar sehingga keterjagaan ilmu mendukung keshahihan ajaran Islam. Kebudayaan ilmu jurnalistik ini turun temurun diwariskan dalam rentang 700 tahun.
Menariknya, Allah dalam kitab-Nya (Q.S Al Hujuraat: 6) telah jauh-jauh hari memperingatkan kita mengenai bagaimana mengelola dan menyebarkan informasi. Hal ini sangat dipegang teguh oleh para sahabat, tabi’in & para ulama. Kita lihat bagaimana ulama jurnalis terdahulu berlelah-lelah melakukan perjalanan bertemu dengan periwayat demi mendapatkan hadits dan informasi yang absah juga valid. Tidak hanya itu, keadaan periwayat pun dikaji apakah ia seorang yang dapat dipercaya atau tidak. Mereka sangat berhati-hati dalam menyebarkan hadits dan informasi. Sebut saja Imam Bukhari yang berusaha menemui kurang lebih 1080 orang sehingga Ia sanggup mengumpulkan 300.000 hadits (200.000 hadits dha’if dan 100.000 hadits shahih). Kemudian beliau memilah sekitar 4000an hadits yang dikaji, diteliti dan diulas selama 16 tahun, dari sini terlihat bagaimana kesungguhannya dalam mengawal sunnah agar terhindar dari kebohongan dan pemalsuan. Sehingga para pembenci, perusak dan pendengki sunnah tak mampu mewujudkan tipu daya.
Prinsip-prinsip yang diletakkan para ulama membuat para penuntut ilmu dapat membedakan antara hadits shahih dan hadits maudhu’. Mereka dapat mengetahui rawi yang jujur dan berbohong, yang benar dan yang keliru, yang cermat dan ceroboh.Berbeda sekali dengan yang terjadi di era digital saat ini, begitu mudahnya informasi tersebar tanpa check and recheck. (Tebarsuara.com)
No comments