.post-body img { width:500px! important; height:auto! important;}

Page Nav

HIDE

Grid

GRID_STYLE

Classic Header

{fbt_classic_header}

Header Ad

//

Breaking News

latest

PROFILE SMA N 1 PAYUNG SEKAKI

Cerpen: Anil S Devian Email: anilsafrianza31@gmail.com M atahari masih sedikit malu mempertontonkan keagungan sinarnya, masih sedikit ...

Cerpen: Anil S Devian
Email: anilsafrianza31@gmail.com
SMA N 1 PAYUNG SEKAKI

Matahari masih sedikit malu mempertontonkan keagungan sinarnya, masih sedikit basah dan lembab oleh hujan semalam. Gadis itu berdiri tepat di gerbang sekolah, gerbang itu tanpa pagar ataupun pintu gerbang pada umummya. Itu hanyalah jalan menuju sekolahnya yang sering disebut gerbang. Matanya disambut oleh tulisan di dinding salah satu bangunan sekolah yang menghadap jalan itu  "Selamat datang di SMA N 1 Payung Sekaki." Gadis itu memakai seragam yang sudah sangat rapi dan mungkin dia datang terlalu awal hari ini, hari ini adalah hari senin dan dia tak ingin terlambat dalam upacara hari ini. Seperti biasa, disaat hujan turun. Sekolahnya ini seringkali tergenang air dan tak jarang lumpur melebur bersama air membentuk kolam kecil di lapangan upacara itu. Sepatu yang tadinya sangat bersih dan mengkilat berubah menjadi sangat berat sekali karena tempelan lumpur yang melekat bak sebuah lem perekat. Sekolah itu tanpa pagar pembatas dengan lahan perkebunan masyarkat sekitar, keadaan itu tahun 2013 lalu. Lapangan upacara itu hanyalah lapangan beralaskan tanah dan batu runcing yang bisa saja melukai kaki jika tak menggunakan alas kaki. Sekolah itu terletak diperbukitan, butuh semangat dan tenaga lebih jika jalan kaki untuk tiba di atas sana dengan tanjakan yang tegak hampir seperti pohon kelapa.
Gadis itu melanjutkan langkah kakinya secara perlahan dan menghindari genangan-genangan air itu. Dia menuju kelasnya, ini adalah tempat paling nyaman baginya disekolah ini. Ruangan itu hanya ada dia dengan gambar presiden dan wakilnya di dinding, dengan deretan meja yang sudah rapi. Meja-meja itu seperti mengeluarkan suara memberi tanda jika ia ingin segera diduduki oleh para siswa lainnya. Baginya, ruang kelas ini adalah: tempatnya mendapatkan sebuah ilmu setidaknya untuk dibawa pulang, kelas yang hampir memiliki semuanya termasuk persaingan dalam masalah menjadi yang terbaik dikelas ini. Gadis itu asik bercengkrama dengan buku pelajarannya, tanpak fokus dan tak mau diganggu rupanya.
"Hey, Din" sahut seseorang dari pintu kelas
"Eh, kamu Vin. Tumben pagi" jawabnya melirik kearah pintu itu
"Biasa Din, tadi ada pahalwanku pagi-pagi sekali masuk kamar bangunin aku"
"Ya baguslah Vin, bangun pagi itu lebih baik Vin"
"Iya, siap buk bosssssss" balasnya dengan sebuah gerakan hormat dan sedikit senyum
Vina adalah sahabat baik Dinda, dia adalah seorang siswi yang berprestasi dikelasnya. Orang-orang bilang: kalau kamu berteman dengan pencuri, sedikit atau banyak kamu akan tau bahkan memahami bagaimana caranya mencuri. Dan gadis itu beranggapan jika berteman dengan orang pintar kita akan ikut pintar, setidaknya rajin dan bukan sok pintar.
Pagi sudah berangsur lebih terang, satu per satu para siswa lain berdatangan. Begitu juga dengan para guru yang sudah ada disekolah. Pukul 07;15 WIB. Itu artinya upacara bendera akan segera dimulai, tapi tidak dengan hari ini. Hingga sekarang telinga Dinda belum mendengar nyanyian dari guru piket yang menyerukan untuk segera melakukan upacara. Dia terus menunggu, hingga pukul 07;30 baru ada nyanyian itu, tapi bukan untuk melakukan upacara melainkan hari ini tidak melaksanakan upacara bendera.
"Yahh ... Padahal aku udah datang lebih awal hari ini." Katanya lesu
"Iya nih Din, aku ukan jarang bisa upacara tepat waktu." Jawab Vina dengan sedikit senyum
"Apa jangan-jangan karena kamu datang lebih awal lagi Vin" Katanya dengan tawa yang sedikit ditahannya
"Apa iya ya?" Vina sontak pura-pura bepikir dengan tingkah konyolnya
Mereka akhirnya menunggu didalam kelas, menunggu terkadang mungkin sangat membosankan. Tapi apakah sama jika yang ditunggu itu adalah seorang pahlawan tanpa tanda jasa yang datang untuk membagi ilmunya pada mereka. Tak lama sekira lima menit berlalu pahlawan itu pun datang dengan setumpuk buku pelajaran dan tas kecil miliknya yang berisi alat tulisnya. Wajah Dinda tanpak ceria, sedikit memerah berdebar di dada, tapi bukan cinta. Menurutnya; cinta akan sangat mempengaruhi semua ospek dalam proses pembelajarannya.Dia memang wanita yang sedikit sensitif pada hal yang berbau pacaran seperti itu. Seperti halnya Franda, sahabat baiknya dulu yang berubah seratus delapan puluh derajat karena masa puber yang tak bisa dilakoni dan dikendalikannya secara baik. Dia seperti membanggakan apa yang menurutnya kekinian itu pada Dinda, tapi respon Dinda tak begitu baik. Dia sedikit memaksakan senyumnya, dia menyayangkan perubahan sahabatnya itu yang dulunya selalu menjadi juara kelas menjadi orang seperti itu. Tapi bagaimanapun itu, Dinda selalu menasehati dan mencoba mengarahkannya. Hanya saja Franda selalu menampik yang membuat Dinda berhenti bahkan melihatkan sikap tak acuh padanya.
Guru itu mulai mengambil absen masing-masing siswa, awalnya lancar seperti air mengalir di seluncuran water boom. Tiba-tiba berhenti disaat nama 'Dirga Pratama' dipanggil. Kelas mulai sedikit risih, ada obrolan-obrolan kecil dari siswa lain. Seperti biasa, teman sekelas Dinda itu memang rajin meminta guru untuk mengukir buku absen dengan tinta merah bertuliskan huruf 'A'.
Pelajaran dilanjutkan, dua jam pelajaran mungkin tak akan lama bila prosesnya itu dinikmati dengan hati. Pergantian jam pelajaran, seorang guru keluar dan masuk seorang guru lainnya seperti halnya lomba estafet secara bergantian. Tak lama kemudian tepat jam 10;45, bel istirahat berbunyi, Dinda dan Vina melangkah menuju sebuah warung yang sering disebut kantin disekolah ini, tepatnya didepan kelasnya. Masuk kedalamnya meja dan kursi yang tak terlalu banyak tersusun rapi, ada juga lukisan dinding yang mempercantik ruangan kecil itu. Disana para siswa mengisi perut menambah energi mengembalikan fungsi otak secara normal seperti pagi tadi.
Tak lama, hujan turun kembali membasahi bumi. Sebuah rahmad dari Allah yang terkadang ditolak sebagian orang dan sebagian lagi mengharapkan kedatangannya. Sekolah itu berubah seketika, menghilang dari pandangan sekira seratus meter. Bukan sekolah hantu, melainkan kabut dingin menyelimutinya, butuh fisik ekstra menghadapi situasi ini. Sekolah ini menjelma bak sebuah tempat dingin tanpa salju yang menusuk bagian tulang. Untung saja Dinda menyiapkan jaketnya untuk persiapan hari ini, sehingga udara dingin itu tak terlalu menguasai tubuhnya. Mungkin mereka yang berada dikelas yang letaknya paling atas merasakan lebih, sekolah itu berada di tempat terpisah satu gedung dengan yang lainnya. Awalnya pelajaran tetap berjalan hingga menyisakan dua jam terakhir. Kali ini guru tak bisa masuk, karena jarak kantor dan kelas cukup terpisah. Tak lama hujan mulai mereda, jam pulang sudah hampir tiba. Mungkin mereka bisa pulang lebih awal. Sekira lima belas menit terakhir.
"Vin, aku pulang dulu ya" kata Dinda
"Iya Din, aku juga mau pulang"
"Ada pekerjaan berat hari ini"
"Kerja berat? Apa Din?" tanya Vina terheran
"Mungkin aku harus mengulang membersihkan dan menyuci sepatu sekali lagi, biasa. Sekolah kita strategis." Tegasnya sambil tersenyum dan berlalu pergi
"Dasar" Balas Vina nyengir
Bukan masalah tempat, tapi niat sekolahnya yang ditanya keinginan hasrat dan cara memperlakukan mempermainkan hati dalam proses pembelajaran itu.
SMA N 1 PAYUNG SEKAKI

No comments